Tiga bulan setelah hari wisuda yang nestapa itu, aku masih tinggal di kostanku yang lama. Ijazah yang kutawarkan ke berbagai peluang kerja nihil tak ada hasil. Untuk menopang hidup, aku rutin mengirimkan artikel-artikelku ke beberapa koran dan majalah. Untuk sekedar mengisi perut cukuplah kiranya semua itu.
Dua hari lalu aku membaca di surat kabar berita rencana pelantikan para anggota dewan. Salah satunya adalah Ustadz Rahman. Di surat kabar itu juga diberitakan sebagai ungkapan syukur atas terpilihnya mereka, mereka berencana melaksanakan umroh ke tanah suci, tentunya dengan biaya sendiri, kata mereka dalam sesi wawancara dengan surat kabar itu.
Jengah hatiku membaca berita itu, karena kutahu beberapa hari lalu saat aku bertemu dengan Rani secara tak sengaja di jalan tak jauh dari rumahku, bahwa kondisi rumah yatim Ar-Rahmah sekarang sangat tak terurus. Rupanya Rani kembali ke rumah yatim itu setelah dibujuk Ustadz Rahman.
Dari mulut Rani kutahu, kesibukan Ustadz Rahman mempersiapkan diri dalam kegiatan pemilihan anggota legislatif sangat menyita waktu, sehingga rumah yatim tak lagi terurus dengan baik. Lamunanku hanyut dalam sketsa-sketsa wajah anak-anak panti yang pasti sangat menderita tidak diurus dengan baik. Ah..kalau saja tidak lagi ada sosok Ustadz Rahman disana, pasti sudah kujaga dan kuurus mereka dengan sebaik mungkin.
Lamunanku buyar ketika pintu kamarku diketuk. Dengan perasaan enggan ku hampiri dan kubuka pintu, ternyata Ibu kostku. Dua pucuk amplop tampak dalam genggamannya. Setelah berbasa-basi, dia menyampaikan dua pucuk surat itu.
Kubaca di amplop surat pertama tertulis Boyo. Tak terperikan senangnya aku menerima surat dari Boyo, rasa penasaran akan keadaannya untuk sementara mampu melupakanku pada keberadaan surat ke dua. Ku hempaskan surat kedua itu, dan segera kubuka surat dari Boyo.
Kepada
Sobatku Bintang
Assalaamu’alaikum bos..., gimana kabarmu Bin? Apa kamu masih kuliah atau sudah jadi sarjana? Atau mungkin kamu sudah kerja ya? Atau ..jangan-jangan kamu sudah married ya? Bin..apapun kabar kamu hari ini, sobatmu ini selalu berharap kamu dalam keadaan sehat, tetep baik kaya dulu.
Jiwaku terenyuh membaca ketulusan dan harapan Boyo. Sebongkah asa tiba-tiba hadir. Semoga apa yang kamu tulis, tertulis juga dalam dunia nyata keseharianku.
Bin, kamu inget ga waktu aku pamit sama kamu? Aku tenggelam dalam kekecewaan, tapi kamu bilang aku harus berpositif feeling. Inget ga waktu kamu bilang “udah..bayangin aja calon istrimu itu cantiknya kaya Dian sastro atau Luna Maya” nah Bin kamu tahu ga, ternyata Surti itu jauh lebih cantik dari keduanya. Percaya ga Bin?”
Bukan cuma cantik Bin, tapi juga baik .shalihah, penyayang, sangat menghormati suami, pinter ngatur duit...ah pokoknya aku bener-bener surprise Bin.
Ga cuma itu, kamu inget ga waktu kamu bilang “bayangin aja kamu dapetin mertua kaya terus kamu diwarisi bisnisnya jadi juragan beras”. Masya Allah Bin, semua seperti mimpi. Ternyata benar Bin, mertuaku seorang juragan beras yang selain kaya tapi juga sangat baik. Dia memberikan salah satu usaha penggilingan padi miliknya. Aku sempat menolak, kan gengsi Bin...ya ga? Tapi karena beliau memaksa, ya..terpaksa aku terima.
Mulutku terkekeh membaca tulisannya. Kubayangkan wajah Boyo yang pura-pura menolak namun sesungguhnya sangat menginginkannya. Aku tahu betul watak Boyo, dia orang yang paling jujur yang pernah kutemui. Kalaupun terpaksa berbohong, bahasa tubuhnya tidak pernah bisa kompak ikutan berbohong. Ternyata benar dugaanku.
Kamu tahu kan, sebenarnya aku seneng banget dapet pemberian itu. Jadi aku ga lama-lama berpura-puranya karena takut beliau membatalkan niatnya memberikan usaha penggilingan beras itu padaku, akhirnya ku terima juga. Syukur Alhamdulilah Bin, usaha penggilingan padiku berkembang sangat pesat. Dalam waktu singkat aku sudah bisa mendirikan satu usaha penggilingan padi ke dua di desa tetangga. Belum lagi dengan hasil penggilingan padi itu aku sekarang punya kolam ikan yang luas. Kolam itu aku tanami gurame indukan yang guede-guede tenan Bin.
Satu lagi Bin, kamu pasti juga senang mendengarnya. Dengan hasil dari penggilingan padi dan kolam ikanku, aku sudah berhasil mendirikan sebuah masjid yang meski kecil namun sangat bermanfaat buat warga kampungku. Saat maghrib tiba, anak-anak kampung berduyun-duyun pada ngaji di masjid itu Bin..kalau liat mereka itu aku jadi inget sama anak-anak di panti Ar-Rahmah tempat favoritmu itu Bin. Oh ya..gimana kabarnya anak-anak panti, Ustadz Rahman..Ustadz favoritmu itu., terus si Rani yang cinta gila sama kamu? Ah..jangan-jangan dia sudah jadi istri kamu ya Bin..ha..ha..?
Bin, kamu adalah sahabat terbaiku. Aku ingin kamu ikut menikmati kebahagiaan yang sekarang sedang aku rasakan. Beneran Bin...ga ada orang lain yang lebih kuinginkan untuk kubagikan kebahagiaanku ini selain kamu.
Aku ingin mengajak kamu berkeliling kampungku yang hijau, bersih dan anggun. Kamu akan ku ajak melihat-lihat usaha penggilingan padiku. Aku bakal ajak kamu mancing di kolam ikanku, dan tentu saja aku akan mengajak kamu ke masjid buat ngajarin anak-anak kampungku ngaji. Gimana Bin asyik kan? Aku serius loh Bin, aku pengen banget kamu datang secepatnya ke kampungku.
Tak terasa air mata meleleh membasahi pipi, menetes satu-satu di atas surat itu. Ada rasa bahagia menyelusup mendengar betapa dia tengah berada dalam kebahagiaan yang tak pernah disangka-sangka. Ada rasa terhanyut seolah-olah aku sudah berada di kampung Boyo. Berkeliling kampung, memancing dan mengajari anak-anak mengaji. Ah...alangkah bahagianya kamu Yo.
Disisi lain ada rasa miris yang turut menjalari hati. Kalau saja dia sekarang ada dihadapanku, akan ku genggam kedua bahunya dan kukatakan,
”Yo..aku bukan Bintang yang dulu, aku bukan lagi Bintang yang bersinar terang,” lantas kan kupeluk erat-erat tubuhnya sama seperti ketika kami berpisah dulu. Kan kubagikan segenap gelisahku padanya agar berkurang gelisah yang menghantuiku. Kan kubagikan kehampaan jiwaku padanya agar aku bisa lepas dari kesendirian dan kehampaan ini.
Maaf sahabat, disaat engkau membagikan kebahagiaan, aku malah membagikan duka dan gelisahku.