Air Mata Bintang

kieva aulian
Chapter #20

‘Dejavu"

Hujan seperti tak mau mengerti galau hatiku yang meracau tanpa kata. Mega hitam menggelayut di atas puing-puing hatiku. Tetes demi tetesnya membasahi pusara Mang Abas. Langit menangis, menangisi kepergian seorang pejuang kehidupan. Atau menangisi akhir tragis dari sebuah perjuangan hidup seorang anak manusia.

Dari gundukan bukit Cimaragas tempat Mang Abas bersemayam untuk selamanya, ku berdiri kaku. Dari ketinggian itu tampak jelas kebun kangkung tempat biasa Mang Abas mandi lumpur. Tanah hitam dengan retakan-retakan tegas menunjukan kepedihan. Kemarau kemarin telah dengan bengis mengguratkan retakan-retakan itu tanpa ampun. Retakan itu kini dipenuhi air hujan. Hujan yang menangisi garis hidup Mang Abas yang getir.

Tak sadar, aku mendesah, “Mang...kenapa harus berakhir seperti ini? Dimana jejak kesabaran yang selalu kau patrikan di hati kami? Dimana puisi keihklasan yang selalu kau lantunkan di tengah kemarau hati kami?”

Selamat tinggal jejak kesabaran... yang biasanya hijau menyelimuti lumpur hitam pekatmu, selamat jalan keikhlasan...yang biasanya membasahi gersangnya lumpur hitamku.

Lama ku berdiri diatas gundukan tanah merah itu. Tak terasa waktu ashar telah memanggil, namun ada rasa enggan memenuhi panggilan sang muadzin itu. Bukan ...bukan rasa enggan...lebih tepatnya rasa marah.

Lihat selengkapnya