Setelah ‘dejavu’ itu usai, aku mulai mencari-cari Rani, tak kutemukan. Dari anak-anaklah aku tahu, baru tadi siang Rani pamit meninggalkan Ar-Rahmah karena sudah tidak sanggup mengurusi panti yang sudah lama ditelantarkan Ustadz Rahman. Ustadz Rahman sudah pindah rumah ke Jakarta dan menempati rumah dinas anggota dewan disana. Sebenarnya Ustadz Rahman sudah menitipkan masalah panti pada orang kepercayaannya Hj. Irene, sekaligus menitipkan Rani, namun masih menurut anak-anak, Hj. Irene sangat jarang berkunjung ke panti.
Garis hidup sudah terukir, Hj. Irene mengurusi Ar-rahmah dengan setengah hati. Kesibukannya sebagai wanita karir telah membuatnya tidak bisa fokus mengurus anak-anak yatim itu. Keesokannya saat aku bertemu dengannya, kuminta tanggung jawab untuk mengurusi Ar-Rahmah, dan dia sangat berterimakasih untuk itu. Ah...tak ada lagi Ahmad, tak ada lagi Rani. Hanya aku sendiri menemani anak-anak melalui hari-hari yang makin berat.
Ketika ku periksa keuangan Ar-Rahmah bersama Hj. Irene sekaligus serah terima, kemarahanku menggunung. Empar Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah saja, uang tersisa di kas panti. Gila...! geramku. Kemana saja uang para donatur yang puluhan bahkan ratusan juta?. Uang sebesar itu mana cukup untuk membiayai tiga puluh empat perut anak-anak yatim. Edan...ku maki habis Hj. Irene dan Ustadz Rahman dalam hatiku tanpa risih. Kebencianku makin menggunung pada sosok Ustadz yang menyuratiku dan mengatakan bahwa perjuangannya menjadi anggota dewan adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan anak-anak panti. Ah...ku tak perduli ...kan ku ambil alih tanggung jawab berat ini.
Duhai alam, kegilaan macam apa yang membuatku mengambil keputusan ini. Ketidakwarasan macam apa yang menghinggapiku?. Mengingat aku hanyalah seorang penulis artikel yang lebih tepat disebut pengangguran. Pendapatanku hanya cukup untuk aku makan dan bayar kost. Lantas bagaimana dengan perut anak-anak panti? Sementara aku tak punya tabungan untuk sekedar memberi jiwa-jiwa suci itu sesuap makanan. Namun ada yang lebih membuatku gila, aku sudah tidak punya iman lagi untuk membimbing mereka menelusuri jalan Tuhan...ah...tapi aku tak perduli, kan kulanjutkan kegilaan ini.
Setelah gemuruh emosiku reda, kini aku duduk termenung sendiri. Menghirup hawa sunyi yang mencekat jiwa. Apa yang harus kulakukan? Darimana harus kudapatkan uang untuk mengisi perut-perut kosong itu? Kuldesak...mendesakku hingga tersengal nafas jiwa yang buntu menemukan jalan keluar.
Ada bisikan yang menggodaku untuk minta pada Tuhan, tapi ku tolak dengan tegas. Tidak !!! kataku. Otakku ku putar lagi lebih keras bak gasing tanpa tuan. Kuperas otakku tanpa ampun, hingga tetes akhir. Tak kutemukan juga jawaban.
Aku duduk terkulai, lamunanku menerawang jauh pada saat pertama kali menginjakan kaki di lantai kusam Ar-Rahmah. Saat pertama kali ku tatap wajah-wajah lugu yang merindu kasih sayang itu. Lamunanku terbang pada sosok Ahmad dan Rani, mereka berdua dulu begitu tulus mengurusi mereka. Lantas lamunanku terbang pada Ustadz Rahman yang memperkenalkan anak-anak itu padaku. Kemudian lamunanku mengantarkanku pada kenyataan, empat ratus lima puluh ribu rupiah. Sejuta murka kuhantamkan ke wajah Ustadz Rahman Tega sekali kamu membiarkan anak-anak ini terlantar! Dimana hati nuranimu, dimana air matamu? Dimana imanmu?.
Lamunanku buyar ketika tangan mungil Meilan mengguncang-guncang lembut pundakku.
“Ka...ka...Aisyah Ka...!”
“Kenapa Aisyah Lan?” tanyaku kaget
“Aisyah sakit...badannya panas sekali.”
Tanpa banyak tanya lagi, ku langsung beranjak ke kamar rembulanku Aisyah. Kudapati tubuhnya menggigil hebat, tubuhnya lemas terkulai. Ku pegang keningnya, panas yang amat sangat tengah mendera tubuhnya. Gelisah dan bingung segera menerpaku. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, menatap wajahnya pun aku tak sanggup. Bagaimana mungkin aku bisa menatap wajah rembulan yang biasanya bersinar terang, tapi kini mendung menahan derita sakit yang menderanya.
“Ka ..kita harus bawa ke dokter...ayo cepat Ka!” ujar Ridwan penuh kekhawatiran. Aku segera beranjak. Tanpa jelas kemana tujuan, aku pangku tubuh mungil yang menggigil itu beserta selimut yang sedari tadi menutupi tubuhnya.
“Ayo Wan...kamu ikut” ajakku pada Ridwan
“ Ke dokter mana Ka?”
“Ah..dokter mana saja yang penting ke dokter...yang lain tunggu disini....ayo Wan!”