Ridwan, Henry, Fauzi, Mila dan Meilan menawarkan bantuan untuk menjual novelku. Rasa haru membanjiri hatiku yang kemarau. Target pasar kami adalah kampus tempatku dulu kuliah. Maka bagai pasukan Amerika membombardir Irak, kami segera bergerak setelah sebelumnya membagi wilayah pasar kami.
Dengan embel-embel untuk beramal kami segera bergerak. Entah karena kasian atau memang tertarik dengan novelku, novel seharga 50.000 itu satu demi satu terjual. Sore hari kami berkumpul di gerbang kampus. Ridwan 10, Henry 8, Fauzi 7, Mila 13 dan Meilan 15. Aku sendiri hanya 5. Rupanya anak-anak itu lebih terampil dariku. Mungkin aku kurang memelas dibanding mereka. Ah..aku tak perduli. total hari itu kami berhasil menjual 58 eksemplar dan uang terkumpul 2.900.000. terbelalak mata kami melihat apa yang kami dapatkan. Seperti mimpi rasanya.
Ungkapan syukur terdengar dari mulut-mulut kecil itu begitu ikhlas terasa. “Alhamdulilah..” tak hentinya mereka kumandangkan seperti menohok sisa imanku. Untuk sekedar menyenangkan mereka kusambut kumandang mereka itu dengan ucapan yang sama “Yaa..syukur alhamdulilah” meski terasa nyinyir.
Ku perintahkan Ridwan dan Mila untuk membeli bahan makanan untuk keperluan beberapa hari, Sisanya akan kubayarkan pada Uda Amir besok
Esoknya ketika aku kembali menjajakan novelku dan duduk di depan taman gerbang kampus dan asyik dengan lamunanku, suara Reza memecah lamunanku.
“Wei...ngelamun aja...ngapain Bin?”
“Eh..Za..kukira siapa. Ini aku lagi jualan novelku”
“Jualan novel...” novel apaan? Ehm...karangan siapa Bin?”
“Wah malu nih..novel bikinan ku sendiri”
“Weis...hebat bener..coba aku liat...” sambil mengambil sebuah dari tanganku. Tak berapa lama kulihat dia asyik sendiri seolah tak lagi memperdulikanku. Aku hanya menatapnya sambil menerka-nerka pendapatnya. Sambil menunggu, kuutarakan padanya bahwa aku menjual novel itu untuk membiayai kebutuhan anak-anak panti. Tapi dia seperti tak acuh.
Setelah sekian lama barulah dia berujar,