Sore Sabtu. Senja mengintip dari ujung horizon, sementara malam lamat-lamat membayangi di kejauhan. Sore yang segar, angin meniup dedaun jambu dengan lembut. Sesekali angin menjatuhkan putik ke tanah, memutar siklus regenerasi agar tak putus. Semut hitam berderet rapih dari dahan terbawah hingga puncak jambu teratas. Dua tiga ekor tersesat di pucuk dahan, berpegang erat pada daun kecil agar tak jatuh ditiup angin yang genit menggoda.
Matahari tersenyum ramah. Awan putih kanyas-kanyas membiaskan cahaya matahari agar tak bersembilu. Agar sinarnya hangat saat menerpa kulit bumi. Sketsa Tangkuban Perahu di kejauhan, menyemburatkan nostalgi yang haru biru. Kokoh mensejarah. Anggun tak lekang oleh waktu. Sepasang kenari bercumbu merah jambu di tenggara atap Ar-Rahmah. Mungkin mereka mencoba menggodaku yang masih larut dalam kesendirian.
Seminggu sudah peristiwa misterius itu, pikiranku masih diselimuti kalut. Tak henti-hati ini mencari jawaban. Mencoba mereka-reka apa yang sebenarnya kualami . Aku tak pernah berhasil menepis peristiwa itu dari ingatanku. Aku tak pernah berhasil mengusirnya dari kamar hatiku.
Peristiwa itu menorehkan puisi tak terhapuskan dalam buku jiwaku. Semakin ku coba hidupkan nalarku untuk mencernanya, semakin tak kutemukan jawaban, bahkan upayaku itu justru melahirkan pertanyaan-pertanyaan lain yang semakin liar.
Drama “anak-anak asing berbaju putih-putih” itu seperti hantu yang terus membayangiku, dalam hening maupun ramai. Dalam hening, sering kurasakan kerinduan untuk dapat merasakan kembali suasana mistik yang sejuk memabukan. Namun dalam ramai, rasanya ingin ku hapus drama misterius itu dari kamar jiwaku selama-lamanya.
Sore itu ku duduk di halaman belakang Ar-Rahmah, ditemani laptop kesayanganku, sambil menikmati semilir angin yang sesekali mengusap mukaku mengirimkan kesegaran ke dalam sanubari. Anak-anak panti sedang asyik bermain menikmati sore yang cerah. Tiba-tiba saja kerinduan pada sosok ayah dan ibu menyergapku. Ku rindu wajah teduh ibu ketika melepasku pergi setelah pertengkaran hebat malam itu. Terlintas juga wajah ayah yang tegas penuh wibawa namun tetap memancarkan rasa cinta yang teramat besar. maafkan aku Ayah...maafkan aku Bu... tak terasa bulir-bulir air mataku mengaliri sawah hatiku yang kerontang.
Tak berapa lama peristiwa misterius itupun kembali mengambil alih pikiranku. Wajah ibu dan ayah untuk sesaat hilang dari ingatanku. Suara dzikir misterius di liang lahat Aisyah itu kembali terngiang di telinga hatiku. Sekian lama aku kembali terbius irama dzikir itu sampai kemudian rasa rindu pada sahabat-sahabatku, Ervan, Boyo tiba-tiba hadir. Dan Tiara...Bidadari Mahameruku...Ah..aku benar-benar merindukan mereka. Andai saja ayah, ibu , Ervan dan Boyo ada disini, bisik hatiku lembut.
Teringat Boyo, aku tersenyum sendiri, bibirku secara refleks bermuara di sudut pipiku. Teringat kembali saat aku dan Boyo kehabisan uang untuk sekedar membeli sepiring nasi. Sepiring nasi yang kemudian kami bagi berdua, diiringi alunan lagu ‘sepiring berdua’ dari radio kecil jadul milik Boyo. Suatu waktu terpaksa Boyo menjualnya karena memang tak ada lagi uang di saku kami barang sepeserpun.
Tidak jauh-jauh, dia jual radio bututnya ke Kang Soleh pemilik warung mie rebus di ujung gang. Radio itu dihargai empat mangkok mie rebus. Bergegas dia mengajakku makan mie rebus masing-masing satu mangkok, sisanya kami pesan untuk sarapan pagi besok harinya. Senyum bercampur air mata haru mengingat indahnya persahabatan kami dulu. Ah..aku benar-benar merindukan mereka. Bisik hati itu semakin kuat mendera. Wahai...adakah yang mendengar kerinduanku ini?
Ervan...aku merindukannya, aku rindu kejeniusannya...kejujuran dan kewibawaannya...ah...adakah yang mendengar kerinduanku ini?
Kerinduanku tersentak oleh allert emailku yang berdering...Iseng ku buka email itu...dan...Tiara...ternyata pengirim email itu Tiara. Gempa dihatiku mengguncang relung-relung jiwa. Tak sabar ku buka email itu ...dan sederet kata indah segera membawaku ke dalam dejavu cinta lama yang menawarkan berseminya kembali mawar cinta. Aku tak mengerti dengan apa yang terjadi. Aku merindukan Tiara...dan kini dia hadir meski hanya dengan untaian kalimat di surat elektronik.
Kalimat-kalimat cinta yang kembali mengajaku melukis langit hitam dengan gemintang. Kalimat cinta yang mengajaku melabiri jalan aspal kehidupanku dengan kabut putih yang sejuk. Kalimat cinta yang menghanyutkanku...melebur sudah sisa-sisa kerinduanku. Kali ini tak kan kubiarkan cintanya kembali tercarut. Aku akan menjemputnya , aku akan genggam jemari cintanya menuju cinta Ilahi...
Aku terperanjat dengan semua imajiku tentang cinta Ilahi...kucoba tenangkan diri sebelum kubalas email cinta itu. Belum satu hurup kugoreskan suara Fauzi mencengkram jari jemariku. Cintaku terkatup sejenak, manakala Fauzi berunjuk salam dan menyampaikan padaku bahwa ada tamu yang menungguku di ruang tamu. Dengan sedikit malas aku bangkit, kupikir tamu yayasan yang akan menyumbang sejumput uang untuk anak-anak penghuni panti.
Sesampainya di ruang tamu, jiwaku terkesiap. Ervan...yaa...Ervan dan Alina...Tak sabar kutubruk kursi tamu yang melintang menghalangi. Apa yang kurasakan ternyata dirasakan juga oleh Ervan, setengah berlari ia pun menubruk kursi di dekatnya menyambut pelukku dengan hangat.
Air mata bertemu air mata. Air mata kerinduan yang sekian lama menggantung tanpa maujud. Kini air mata itu tumpah tak tertahankan. Tak ada kata terucap...air mata dan dekap kami cukup untuk mengatakan apa yang kami rasakan..air mata kami cukup untuk mengatakan betapa semua kerinduan kami telah menyamudera.
Setelah sekian lama sunyi mendera, kata pertama pun terucap dari bibirnya
“Apa kabar Saudaraku...?” terdengar suara Ervan, parau namun tulus.
“Baik Van...aku baik-baik saja...kamu sendiri gimana Van?”
“Alhamdulilah Bin...aku dalam bahagia...” balasnya puitis.
“Eh..Bin...ini Alina..dia sudah jadi istriku” lanjutnya sambil menarik lembut lengan Alina yang sedari tadi termanggu haru menatap adegan yang kami pertontonkan.
Sejenak ada rasa canggung, namun segera kuusir jauh-jauh, kami bersalaman tanpa bersentuhan. Suara lembutnya pun mengalun
“Apa kabar Kang Bintang?”
“Alhamdulilah baik-baik aja Lin...syukurlah kalian sudah menikah...aku turut bahagia”
Sejenak hening kembali menguasai suasana dan keheningan itu pecah ketika suara anak-anak datang menghampiri kami.
“Kang Bintang..boleh aku main sama anak-anak Kang Bintang?” pinta Alina padaku.