Seusai adegan cinta itu, Ervan dan Boyo pamit pulang. Tampaknya mereka sangat mengerti betapa aku, ayah dan ibu ingin sekali mereguk rindu kami lebih dalam lagi. Sebelumnya Ervan menyampaikan keinginannya untuk turut membina anak-anak panti dengan ilmu dan pengalamannya. Ervan bertutur, betapa dia ingin membagikan ilmu dan pengalamannya yang penuh liku iman itu pada anak-anak yatim agar kelak mereka bisa mendapatkan keteguhan iman ditengah dunia yang semakin menggila. Tentu saja tawaran itu aku sambut dengan hangat.
Sementara Boyo, menyampaikan maksudnya untuk turut menjadi donatur utama pengembangan Ar-Rahmah. Dengan jenaka ia berkata,
“Bin...ini balasan Allah, buat duit seratus ribu yang dulu kamu kasih sama aku...”
Malam selepas Isya, aku, ibu dan ayah bercakap di teras halaman panti. Ayah menasehatiku dengan petuah-petuah bijaknya. Aku hanya mendengarkan saja, tanpa sanggup berkata-kata. Jangankan berkata-kata, menatap wajahnya pun aku tak sanggup. Aku sudah berikrar, aku tak kan pernah mengecewakannya lagi.
“Bin..Ayah dan Ibu bangga sekali sama kamu. Kamu mau memelihara, mendidik dan melindungi anak-anak yatim disini. Alhamdulilah...itu perbuatan yang teramat mulia Nak...Ayah Ibu bangga sekali...” aku terdiam menunggu barisan kata bijak berikutnya datang.
“Iya Bin...Ibu bangga sekali” kali ini kupaksakan menatap wajah Ibu. Ada seulas rembulan di bibirnya. Aku terpesona.
“Bin..Ayah dan Ibu tidak tahu apa kamu masih meragukan Allah atau tidak, tapi melihatmu seperti sekarang...bersama anak-anak yatim...Ayah yakin Insya Allah suatu saat kamu akan menemukan imanmu yang hilang...dan lebih dari itu...Ayah yakin kamu akan menjadi kekasih Allah...Ayah yakin itu nak...” halilintar menjilat hatiku. Bagaimana mungkin orang sepertiku yang hingga detik ini masih meragukan Tuhan, akan menjadi kekasihNya. Ku pikir Allah , kalaupun benar Dia ada, Dia tak kan pernah bersedia memeluk hamba-Nya yang meragukan-Nya, hamba-Nya yang mendurhakai-Nya seperti aku.
“Kamu tahu Nak...kenapa Ayah percaya itu akan terjadi? Nak...simak baik-baik perkataan Ayah ini...apa yang sedang kamu jalani sekarang adalah bukti Allah sangat menyayangimu.” Kali ini dahiku berkerut. Aku tak mengerti maksud Ayah.
“Boleh jadi saat ini kamu masih meragukan Allah, tapi coba kamu renungkan! Disaat kamu meragukan Allah, disaat yang bersamaan Allah memberimu amanat mulia ini, amanat memelihara anak-anak suci ini...Allah tidak pernah pergi meninggalkanmu Nak...disaat kamu meragukannya...Allah justru memberimu kepercayaan besar dan berat..apa namanya itu kalau bukan karena Allah sangat menyayangimu. Kalau saja Allah tidak sayang padamu, sudah lama Allah cabut nyawamu nak ...dan tak memberimu kesempatan untuk bertaubat...dan memberimu amanat yang suci ini.” Aku mulai bisa membaca arah pembicaraan Ayah.
“Bin...Allah titipkan mereka pada kamu, mereka itu tanda cinta Allah padamu...percayalah nak..!” Aku mencoba mencerap kata-kata ayah, mengendapkannya di kalbu terdalamku dan mencoba meyakini kebenaran kata-kata itu. Hatiku mengangguk pelan...aku percaya tapi...masih ada sejumput ragu. Entah apa itu aku sendiri tidak tahu.
Malam semakin larut, ayah masih setia dengan nasihat-nasihatnya. Ibu tak lepas dari senyumnya. Sementara itu aku bergumul dengan kegamangan. Hingga satu suara lembut datang memecah pembicaraan kami. Rupanya Meilan, gadis kecil berumur 5 tahun. Dia adalah satu-satunya sosok yang perlahan mampu mengusir rasa pedihku karena ditinggal rembulanku Aisyah.
“Kak...Meilan takut...” tak kusahut ucapannya, tapi ku rengkuh tubuh mungil itu. Kududukan di pangkuanku, kupeluk di dadaku. Ada yang membasahi dadaku. Rupanya itu air mata Meilan...ya air mata Meilan.