Air Mata Bulan

Mizan Publishing
Chapter #2

SATU BATU DARAH

"Taruhan, aku bisa makan kacang atom dilempar, tanpa luput sampai lima kali berturut-turut.” Billy memuntir-muntir bola putih sebesar kelereng di antara jari-jarinya. Dia cengar-cengir kepada kami dengan wajah angkuh-menantang. Di tangan satunya, dia mencengkeram sebungkus kacang atom erat-erat. Dia sudah memegangnya cukup lama. Cukup lama untuk menghabiskan separo isinya tanpa membiarkan kami menciduk sama sekali. Heidi memutar bola matanya, mendengus dan menggeleng enggak peduli. Billy tampaknya sadar dengan perlakuan Heidi dan merasa terhina. “Kenapa kamu mendengus begitu?” tuntut Billy marah. Seperti aku, dia juga sangat sensitif terhadap dengusan orang. Heidi buru-buru menyingkir sedikit, mengerjapkan matanya, gugup. “Enggak,” katanya cepat. Kurasa Heidi agak takut kepada Billy, padahal dia lebih tua dari bocah itu. Tapi, siapa sih, yang enggak takut pada anak beringasan satu itu? “Menurut kamu, aku enggak bisa, kan?” tuduh Billy. Heidi menggeleng, tapi wajahnya menyorotkan keraguan.

“Dasar, tukang pesimis! Akan kubuktikan kalau aku bisa!”

Sam, mendongak dari komik di tangannya, tergoda nimbrung. Dia cengar-cengir memamerkan giginya yang rapi. “Kalau kamu enggak bisa, besok ke sekolah pakai jepitan pita ini, keliling lapangan waktu istirahat.” Sam mengangkat jepitan yang dimaksud: berbalut kain berwarna ungu muda dan pink, dengan pita besar yang “unyu”. Sam mengeluhkan hadiah baru dari ibunya itu. Hadiah yang enggak disukainya. Saudara kembarnya, Anna, justru suka banget hadiah pita itu.

Billy tergelak sampai beberapa remah kacang atom yang masih dalam mulutnya menyembur ke luar. Diam-diam aku mengusap lenganku yang kena sembur ke kaus Heidi.

“Siapa takut!” seru Billy lantang. Dia selalu bicara dengan suara keras.

Billy berdiri lagi, lalu menunjuk Heidi yang masih setengah bengong. “Tapi, kalau aku bisa, dia yang pakai pitanya. Dan harus pakai rok merah, biar mirip ‘Heidi’.”

Kami berempat tertawa, sementara wajah Heidi memerah sampai telinga. Heidi adalah cerita anakanak tentang gadis kecil dari gunung yang dikirim untuk menemani seorang nona muda kaya raya di ibu kota. Kami pernah tanpa sengaja menemukan VCD-nya di rental film ketika iseng mampir ke sana. Sejak saat itu, Heidi adalah gadis kecil bagi kami.

Heidi menunduk dalam-dalam, memandang buku komik di pangkuannya. “Oskar,” gerutunya pelan. Itu memang nama depan Heidi, dan nama yang lebih disukainya. Tapi, mana mau kami melewatkan kesempatan untuk membuatnya sedikit lebih menderita.

Billy mengangkat satu kacang atom hingga sejajar dengan kepalanya, lagaknya dramatis. “Satu!” serunya keras-keras. Dia merentangkan tangannya, lalu melempar kacang atom itu ke udara.

Kacang berlapis kulit putih itu menabrak tepat di bola matanya.

***

Billy melempar jepitan pink-ungu berbentuk pita ke mejatempatku,Sam,danAnnamengobrol.Tampangnya congkak bukan main. Dia pura-pura menyibakkan rambutnya, seolah-olah dia punya rambut panjang cewek iklan sampo.

“Memangnya aku bakalan malu, cuma jalan lenggak-lenggok di lapangan pakai jepitan begitu? Ha! Pita kecil enggak akan mengalahkan Billy Si Perkasa.”

“Billy Si Enggak Tahu Malu, kali,” sahutku.

Sam mengerucutkan hidungnya. “Terus? Kenapa berhenti?”

“Ditarik Pak Priono,” balas Billy muram.

Kami bertiga menertawakannya, tapi Billy tetap mengangkat dagunya dengan sombong. “Awas ya, kalau ada permainan hukuman berikutnya!”

“Kita enggak main permainan hukuman kemarin,” kataku, mengingatkan. “Kamu sendiri yang menantang pake kacang atom. Enggak bagi-bagi lagi!”

“Tapi, kamu menetapkan hukuman!” seru Billy sambil menunjuk Sam, yang cengengesan di samping kakak kembarnya. “Pokoknya, kamu incaran aku berikutnya, Sam!”

Samantha menjulurkan lidahnya. “Enggak takut.”

Billy menjepit lidah Sam dengan ibu jari dan telunjuknya. Lalu, tertawa terbahak-bahak, sementara cewek itu meronta-ronta dan menggeram marah. Anna mencoba membantu saudara kembarnya, tapi enggak berhasil. Aku tertawa saja, enggak berminat melerai mereka. Beberapa detik kemudian, Billy melepaskan lidah Sam dan mengelap jarinya di seragamku. Aku mencubitnya.

Billy ganteng, tapi dia kurang-lebih dungu. Dia naksir Anna. Banget. Makanya dia selalu bertingkah kayak anak polos, caper, dan sok berani di depan Anna. Targetnya, biasanya Sam. Menurutku sih, Billy malah jadi kelihatan naksir Sam.

“Hei.” Heidi muncul dari belakang Billy. Dia mendorongku sedikit hingga aku bergeser, menyisakan cukup tempat bagi separo pantatnya untuk menempel. “Ada anak yang kulihat di kantor tadi.”

“Ada banyak anak yang ke kantor guru setiap hari. Kenapa memangnya?”

“Entah, deh, rambutnya panjang banget.”

“Oh.” Billy mengangkat alisnya tertarik, memasang wajah gatal. “Cewek?”

Heidi mengernyit. “Ya cewek, lah. Masa cowok rambutnya panjang?”

“Siapa tahu ngondek!”

“Anak baru?” tanyaku, tidak menghiraukan celetukan ngaco Billy. “Enggak pernah lihat anaknya?”

Sam menyerobot, “Tapi kamu, kan, memang enggak kenal banyak orang.”

“Ya,” gumam Heidi, mengangkat bahu. “Lagian sekarang baru awal-awal semester. Maksudku, bukan waktunya anak pindahan, kan?”

Kami semua mengangguk pelan, ragu-ragu. Enggak ada satu pun dari kami yang yakin. Tapi, Heidi selalu lebih tahu dari kami. Jadi, dia pasti benar.

Benar, kan?

***

Nope. Enggak. Untuk pertama kalinya sepanjang persahabatan kami, Heidi salah. Hari berikutnya, ada satu orang baru duduk di pojok ruangan, dalam kegelapan.

Aku hampir selalu jadi anak pertama yang datang ke kelas. Enggak tahu kenapa. Mungkin karena adikku selalu bangun sebelum ayam jago.

Jadi, wajar kalau aku hampir menjerit ketika melihat sosok yang tertutup rambut membungkuk di atas meja. Otomatis aku berpikir kalau aku akhirnya menemukan salah satu dari tujuh keajaiban sekolah.

Tapi, aku teringat ucapan Heidi, dan aku tahu: ini anak baru yang dia lihat di kantor guru kemarin.

Seenggaknya kuharap begitu, karena akan sangat mengerikan kalau ternyata itu bukan anak manusia sama sekali.

“Hai!” sapaku, kaku, sambil meletakkan ransel di bangku. Kurasakan matanya yang tertutup rambut itu menatapku, sama penasarannya denganku. Aku mengangkat tangan, melambai dengan gerakan sedikit robotik. “Aku Archie.”

Dia enggak menjawab.

Aku berjalan beberapa langkah ke belakang kelas. “Kamu anak baru?”

Dia mengangguk sedikit.

“Nama kamu siapa?” Aku hampir putus asa karena dia enggak juga menjawab pertanyaanku. Gimana kalau dia enggak bisa bicara, karena dia ... kuntilanak?

Akhirnya, dia mengangkat wajahnya. Rambutnya tersibak ke belakang, menampakkan seluruh wajahnya. Tangannya bergerak untuk menyingkirkan sisa rambut yang masih menutupi wajah, seperti sedang membuka tirai. Aku melihat wajahnya dan menahan napas.

Kulitnya sangat pucat, berwarna putih keabuabuan. Aku bisa melihat berkas-berkas biru urat nadi di baliknya. Bibirnya kering, berwarna merah muda sangat pucat. Hidungnya tampak agak berminyak. Rambutnya panjang hingga melewati separuh rok, bergelombang, kusam, dan kering.

Hal yang paling mengerikan bukan itu. Sesuatu yang paling mengerikan adalah matanya. Matanya besar, sebesar bola pingpong. Dan bola matanya … berwarna abu-abu muda. Enggak ada sinar di sana. Sebelum aku menelan ludah, dia sudah membuka mulut.

“Luna,” katanya, sangat pelan. Suaranya ternyata lebih mengejutkanku daripada matanya. Suaranya … suaranya indah. Benar-benar indah. Dia meninggalkan gambaran embun di kelopak bunga pada pagi hari. Berkebalikan dengan matanya yang mengerikan.

“Oh.” Kuulurkan tanganku, berjalan tergopohgopoh ke arahnya untuk menjabat tangannya. Aku mencoba tersenyum, tapi tampak seperti seringai kaku, yang kalau kulihat sendiri pasti membuatku ngeri. “Nama lengkapnya apa?”

“Luna Bulan Chandra,” sahutnya. Dia menjabat tanganku.

Tangannya superdingin. Tapi, setelah yakin aku bisa menyentuhnya, seluruh tubuhku lemas karena lega. “Itu tiga-tiganya artinya ‘bulan’, kan? Kamu pindah dari mana?”

“Hm,” gumamnya, menoleh ke arah jendela yang perlahan mulai menampakkan sinar matahari pucat. Dia memandangku sekilas lagi. “Dari Pontianak.”

Aku memiringkan kepalaku sedikit. “Jauh juga,” responsku. “Kenapa pindah?”

Lihat selengkapnya