Aku, Mama, Papa, serta adik perempuanku, Aria, duduk mengelilingi meja makan. Mama menyiapkan nasi goreng untuk sarapan. Masingmasing mendapat satu telur mata sapi. Mama enggak pernah absen masak meskipun dia bekerja. Kurasa aku akan gembrot sebelum umur dua puluh tahun.
Seperti biasa, Papa membaca koran sambil makan. Tapi, kali ini Papa berhenti agak lama hingga Mama menegurnya, mengingatkan kalau Papa harus segera pergi.
“Ada pembunuhan, Ma,” kata Papa dengan wajah serius, agak pucat.
Mama mengerutkan dahi. “Bukan di dekat sini, kan, Pa?”
Tanpa menjawab Mama, Papa menyodorkan koran kepada Mama. Mama membacanya dengan cepat, kemudian matanya membesar. Aria diam-diam mengintip koran, kemudian menahan napas kaget dan berseru. “Darahnya diisap sampai kering!”
Aku berhenti menciduk nasi goreng. “Siapa yang darahnya diisap sampai kering?”
“Korban pembunuhannya, Bang!” seru Aria takjub. Dia memandangku dengan mata berkilat-kilat. “Kayak dibunuh vampir!”
Mama mengambil koran dari meja. “Jangan ngeyel kamu. Enggak ada yang namanya vampir. Udah, ah, kalian cepat habisin makanannya! Papa harus buruburu ke kantor.”
Aria, sama sepertiku, tampak masih ingin membahas kasus mengerikan itu, tapi kami memutuskan menuruti Mama. Soalnya, Mama lebih seram dari vampir kalau lagi marah. Lagi pula, butuh waktu lama bagi Papa untuk pergi ke kantor, dan dia harus mengantar kami sebelum pergi.
Ketika kami bergulir ke sekolah, sepertinya Aria sudah melupakan kasus yang ditemukannya di koran. Anak-anak di sekolah juga tidak tahu soal kasus itu. Ya, aku juga enggak akan tahu kalau bukan karena Papa. Tapi, tentu saja, ada Heidi. Dia membahas kasus itu dengan serius bersama kami ketika istirahat siang. Bakso ikan gorengnya bercipratan ke mana-mana ketika dia menyerocos tentang berita yang dia temukan di koran.
“Keluarga korban pembunuhan itu enggak diisap darahnya. Ada bekas sayatan di leher mereka, kayak hewan kurban. Darah mereka juga kering, tapi bukan karena diisap, melainkan karena sayatan itu.
“Nah, ini yang seram. Darahnya enggak kelihatan di mana-mana. Enggak berceceran di lantai, meskipun badan korban kering kerontang. Jadi menurut aku, sih, darahnya pasti diambil Si Pelaku,” tutup Heidi sok tahu.
Aku bergidik keras, ngeri membayangkan adegan yang baru dideskripsikan Heidi. “Enggak mungkin, ah!” sanggahku. “Memangnya untuk apa Si Pelaku ngambil darah korban?”
Heidi mengaduk-aduk isi kotak bekalnya, kelihatannya sedang mempertimbangkan jawaban untukku. “Enggak tahu. Kan, bukan aku yang bunuh. Tapi, ada banyak aliran sesat yang punya ajaran-ajaran gelap mengerikan. Mungkin pembunuhnya anggota aliran sesat itu. Mungkin mereka pakai darah manusia untuk ritual tertentu. Diminum atau dipakai mandi .…”
Billy mengibas-ngibaskan tangannya di udara, seperti sedang mengusir lalat yang enggak kelihatan. “Udah ah, udah! Kok, ngomongin kayak ginian waktu lagi makan, sih? Bikin enggak nafsu makan saja!”
Sam menunduk memandang kotak bekalnya yang masih separuh penuh, tampak murung. “Iya,” katanya lemas. “Bukan bahasan bagus sambil makan. Kenapa kita enggak ngebahas mainan ramal-ramalan kayak kemarin lagi, sih?”
Anna, yang dari tadi diam seribu bahasa dan pucat pasi, mendadak tampak senang. “Ada tempat ramalan baru di Kota Tua. Katanya lumayan, lho!”
“Di Kota Tua?” ulangku. “Di mananya?”
“Di dekat toko es krim yang waktu itu. Katanya mereka ada di truk, mirip food truck gitu. Keren, ya?” Anna kedengaran antusias.
Aku yakin Billy akan mencemooh karena aku tertarik pada ramalan itu. Tapi, melihat Anna sesemangat itu, dia enggak berani bikin ulah. Malah, Billy berdeham malu-malu kepada kotak bekalnya. “Mungkin … kita bisa ke sana akhir minggu? Habis les, gimana? Enggak ada kerjaan, kan?”
Heidi menggelengkan kepala. “Aku enggak percaya,” katanya dengan dramatis. “Billy Si Serba Macho ngajak kita mainan ramal-ramalan.”
WajahBillymemerah,tapisebelumdiamengatakan apa-apa, lonceng berbunyi dan istirahat berakhir. Kami berlima menutup kotak bekal. Kemudian, menaiki tangga menuju deretan ruang kelas 2 dan kelas 3.
Di puncak tangga, kami melihat Luna berjalan masuk ke dalam kelas. Kami memperhatikan rambut panjangnya berkibar mengikutinya. Sementara, kami berlima berdesakan di atas tangga.
Pandangan mata kami sekilas bertumbukan ketika dia berbalik. Aku menelan ludah.
Apa dia tadi memperhatikan kami?
Aku memandang ke belakangku. Ketiga temanku balas memandangku, wajah mereka tampaknya menunggu tindakanku berikutnya. Tapi, aku hanya mengedikkan dagu ke arah kelas. “Ngapain bengong? Masuk, yuk! Tuh, di belakang pada ngantre gara-gara kalian ngehalangin jalan.”
Ketiganya mengangguk, lalu mendorong punggungku dan mengikutiku ke dalam kelas. Billy merangkulku dan mempererat rangkulannya sambil menghujamkan pandangan galak ke arah Luna.
Sepertinya, dia pikir Luna memberiku pengaruh buruk atau sejenisnya. Dan sepertinya, keempat temanku ini berusaha menjauhkanku dari Luna. Itu enggak beralasan, tentu saja. Luna enggak pernah berbuat macam-macam terhadap kami.
Tapi entah kenapa, dalam hatiku, aku merasa mereka melakukan hal yang benar.
***
Hari ini, Heidi harus pergi ke bimbel dan Billy ada latihan tenis. Jadi, kami sepakat enggak berkumpul. Biasanya aku ikut main sepak bola di sekolah, tapi hari ini hujan besar, jadi enggak ada yang main. Semua orang harus buru-buru pulang karena jalan ke rumah mereka mungkin sebentar lagi ketutup sama banjir.
Aku berpamitan kepada Sam dan Anna, kemudian mencari angkot. Tapi di gerbang sekolah, aku melihat Luna di bawah payung berwarna hitam gelap. Dia berjalan menunduk, punggungnya melengkung, sementara dia memandang trotoar yang becek di bawah kakinya.
Aku menelan ludah. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Anak-anak sedang berjejalan ke dalam angkot atau ke mobil yang menjemput. Heidi sudah melesat pergi sebelum kami semua, enggak pernah mau telat ke tempat bimbelnya. Billy juga sudah dijemput oleh sopirnya. Kurasa, Anna dan Sam langsung pulang.
Jadi, dalam dorongan mendadak, kuikuti Luna. Aku menaiki angkot di belakang Luna, disusul bus yang dia naiki (aku berhasil naik tanpa dia sadari!). Turun di tempat yang sama dengan Luna, dan berjalan mengendap-endap mengikutinya. Kemudian, kudapati diriku di Kota Tua.
Luna berjalan melewati deretan bangunanbangunan tua melalui jalanan yang kotor dan mulai digenangi air. Sejenak, kupandang jalanan di depanku. Dia jelas mengarah ke toko es krim yang tadi siang dibicarakan Anna.
Mungkinkah?
Berindap-indap, aku mengekori Luna dan akhirnya menemukan truk berukuran sedang berwarna ungu tua. Ada kain menutupi kotak di punggung truknya, berwarna ungu anggur dan menunjukkan tulisan berwarna emas. Tulisan itu besar. Kubaca apa yang dikatakannya: La Maison Dieu.
Kumiringkan kepala. Apa artinya? Itu bahasa Prancis, bukan? Apa bahasa Sunda? Aku sering lihat, spanduk warung-warung kopi di Bandung tulisannya ‘Ngopi di dieu’. Beda kali, ya?
Aku bengong cukup lama hingga menyadari, Luna menghilang dari pandangan. Kuedarkan pandangan ke sekeliling, tetapi jalanan sepi, hanya diisi tetesan hujan lebat hingga tampak seperti tirai berkilau yang mengaburkan pandangan.
Aku kehilangan Luna. Ini benar-benar bodoh. Aku sudah jalan jauh-jauh ke Kota Tua, dengan risiko enggak bisa kembali ke rumah gara-gara banjir, dan sekarang aku kehilangan Luna gara-gara tempat ramalan tolol ini? Kutendang genangan air di depanku, kesal. Aku enggak tahu apa yang harus kulakukan sekarang.
Tapi, kuputuskan untuk enggak pulang saat ini. Mungkin Luna masih ada di sekitar sini. Bisa jadi dia datang ke sini minta diramal. Dia, kan, anak cewek juga. Mungkin dia suka yang seperti ini, seperti Anna.
Kudekati truk ramalan itu. Di bagian belakangnya, pintu kotak truk dibuka, tapi ditutupi kain ungu sehingga aku enggak bisa melihat isi truk. Ada lonceng kuningan berkarat yang terpasang di pintu kotak, di atasnya ada plakat bertulisan: Tamu, bunyikan.
Maka, kubunyikan lonceng itu. Terdengar bunyi berdenting pelan yang kuyakin enggak akan bisa didengar di tengah terpaan hujan. Tapi, mengejutkannya, terdengar bunyi berdenting lagi, dan tirai velvet terbuka sedikit.
Kepala berambut hitam panjang menyembul dari dalam. “Anda mau diramal?”
Kepala itu berhenti, tertegun. Aku juga terpaku, mulutku terbuka separuh dan membeku saking kagetnya. Mata abu-abu pucat Si Pemilik Kepala melayang ke arahku.
Kurapatkan bibirku, menelan ludah, kemudian tersenyum kaku. “Hai, Luna.”
Sejenak, dia tampak mencoba mengingatku. Aku baru kenal dua hari dengannya, jadi mungkin aku enggak familier dengannya. Sebelum aku berhasil menjelaskan namaku, Luna mengangguk ke arahku. “Archie,” katanya dengan suara pelannya. “Kamu mau diramal?”
“Em, boleh,” kataku, mengangguk.
Luna membantuku naik dan dia menahan tirai velvet untukku. Aku masuk ke dalam truknya.
Di dalam, dinding-dinding, langit-langit, serta lantai truk dilapisi kain velvet ungu sejenis. Tirai tebal membentang di belakang ruangan. Di depannya, ada sebuah kursi berwarna merah gelap dengan tepian berwarna emas cemerlang, berukir-ukir heboh. Di depannya, ada meja kayu berpelitur mengilap. Kemudian, diletakkan kursi lain yang lebih kecil berhadapan dengan kursi emas di seberangnya.
Aku berdeham, mengerling kepada Luna di belakangku. “Ini … ini tempatmu, Luna? Ini tempat ramalan, kan? Kamu bisa meramal?” tanyaku dengan gugup. Tapi, entah kenapa, kurasa aku enggak akan kaget sekalipun dia bilang iya.
Luna menggeleng lembut. “Ini tempat ayah saya. Saya cuma bantu-bantu saja. Sekarang Ayah masih di rumah, saya sedang beres-beres. Kalau kamu mau diramal Ayah, kamu harus tunggu sampai sore. Dia mulai kerja jam empat.”
Aku buru-buru menggeleng. “Enggak, kok. Aku enggak mau diramal ayahmu.”
Luna bersedekap. “Kalau begitu, kamu mau apa?”
“Aku .…” Aku enggak bisa memberinya jawaban.
“Mau saya ramal?” Luna menawarkan.
Kuangkat kepala, mataku terbeliak kaget. Aku mengangguk cepat. “Boleh. Boleh, kalau kamu bisa … eh, mau. Berapa … berapa bayarnya?”