Air Mata Cinta

Coconut Books
Chapter #1

Prolog

Wahai zaman, betapa cepat engkau berubah.

Betapa tidak adil dan kejamnya engkau.

Terhadap hamba yang bodoh, engkau berbaik hati. Namun, kepada yang baik, engkau menjadi pedang tajam.

Zaman, ketika memberi akan mengambil kembali.

Ketika telah tampak lurus, ia malah menyimpang.

Aku tidak rela kepadamu meski engkau bermurah hati karena aku tahu kebaikanmu akan segera lekang.

Selama kebaikanmu, wahai zaman, diikuti keburukan, sedikit dunia dan secukupnya lebih baik dan tidak kurang.

Danang menghentikan kegiatan membaca saat ponselnya berdering nyaring.

“Assalamu’alaikum, Umi,” salam Danang dengan suara lembut kepada umi yang paling dicintai setelah cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Tangan kiri Danang meletakkan pembatas pada halaman buku Air Mata Cinta Pembersih Dosa karya Ibn al-Jawji yang berada di pangkuannya. Buku itulah yang barusan ia baca.

“Wa’alaikumussalam. Kapan kamu pulang ke Bandung?” tanya uminya di seberang sana.

“Insya Allah awal Agustus. Umi sama Abi gimana kabarnya, sehat?”

“Alhamdulillah kalau badan sehat, tapi hati Umi sakit.”

Danang tersenyum. “Hati-hati, Umi. Penyakit yang menyerang hati lebih berbahaya daripada penyakit yang menyerang badan.

Penyakit yang menyerang badan hanya akan meniadakan kebahagiaan dunia. Namun, bila penyakit telah menyerang hati, bukan hanya akan meniadakan kebahagiaan di dunia, tetapi kebahagiaan di akhirat pun akan dirusak.”

Danang sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya saat sang umi membentak. Bukan bentakan marah, melainkan bentakan sayang seorang ibu kepada putranya yang belum kunjung mendapatkan seorang pendamping.

Ali sudah menikah, kapan kamu akan menyusul? Teman-teman sebayamu sudah pada menikah, bahkan sudah ada yang memiliki anak. Kamu kapan? Ingat Danang, menikah itu sunah Rasulullah, semakin cepat semakin baik untuk agamamu.

Danang tidak mengucapkan sepatah kata pun. Di mata uminya, mungkin ia memang sudah terlihat siap, tapi bagaimana kalau dirinya sendiri yang merasa belum siap?

Danang, dengarkan Umi! Umi hanya menginginkan yang terbaik untuk kamu. Kamu putra kesayangan Umi... tidak ada yang bisa menebak kapan Malaikat Maut akan menjemput Umi atau Abi. Bisa jadi setelah meneleponmu Malaikat Maut sudah siap menjemput Umi.”

Seketika tubuh Danang membeku. Kenapa uminya berkata demikian?

Kebahagiaan terbesar Umi dan Abi adalah melihat kakakmu dan kamu bahagia. Meraih cita-cita yang kalian impikan dan hidup bahagia dengan pasangan hidup kalian.... Pasangan hidup yang bisa menjadi teman perjalananmu meraih rida-Nya. Itu yang akan membuat Umi dan Abi tenang dan bahagia.

Danang menatap ke arah jendela apartemen. Birunya langit begitu indah untuk dipandang. Namun, seindah apa pun langit biru, tidak dapat mengusir rasa gundah yang menyelimuti hatinya.

Izinkan Umi untuk mencarikan jodoh yang baik untukmu.”

Danang tidak memberi jawaban.

Lihat selengkapnya