Danang memijit kepalanya yang berdenyut. Hari ini ia harus menangani tiga kasus operasi yang cukup menguras energi serta emosi. Salah satu pasien yang ditangani tidak bisa ia selamatkan dan keluarga pasien menyalahkan dirinya.
“Sabar, Nang. Resiko jadi dokter saat operasi sukses, dokter hanya akan mendapatkan ucapan terima kasih tanpa embel-embel lain. Tapi, di saat pasien tidak dapat diselamatkan, kita akan mendapat hinaan, tuduhan, dan embel-embel lain akan mengikuti di belakangnya,” ujar salah satu teman sejawatnya.
Danang hanya tersenyum tipis lantas berlalu dari ruang operasi menuju ruangannya. Baru saja ia menghempaskan tubuhnya di atas sofa, telepon berdering nyaring. Telepon dari Dokter Wirawan, atasan Danang di bagian bedah, yang menanyakan perihal kematian pasiennya. Andai saja yang meninggal bukanlah salah satu orang penting di dunia politik, ia jamin atasannya itu tidak akan repot- repot memberondongnya dengan banyak pertanyaan.
“Keadaan perutnya sangat mengerikan ketika saya bedah,” ujar Danang melalui sambungan telepon, memberi tahu penyebab pasien tidak dapat diselamatkan meskipun ia sudah mengerahkan segala kemampuannya. “Radang dan penyumbatan pembuluh darah mesenterial.”
“Pihak keluarga tidak terima operasi gagal. Mereka mengancam akan membawa kasus ini ke meja hijau.”
Danang menghela napas panjang. Ya sudah, terserah mereka. Ia sudah bekerja sesuai dengan prosedur yang ada. Sukses tidaknya sebuah operasi itu tentu Allah yang menentukan, bukan ia.
***
Citra sudah hendak menjemput mimpi indah saat tiba-tiba pintu kamarnya digedor. Ia terperanjat dari atas tempat tidur.
“Ada apa?” tanyanya pada teman satu indekos yang berdiri tepat di depan kamar.
“Si Desi minum racun serangga.”
Mata Citra terbelalak. “A-apa?” Tiba-tiba lidahnya terasa kelu.
Kakinya gemetar.
“Ayo, Cit, bantu gue bawa dia ke rumah sakit!”
Dengan kaki gemetar, Citra menuju kamar Desi. Ia membekap mulutnya saat melihat keadaan Desi yang kejang-kejang menggelepar di atas lantai. Mulutnya berbusa, matanya melotot. Pemandangan yang sungguh mengerikan.
“Cit, lo kan anak FK. Tolongin dong si Desi. Nggak tega gue lihatnya.” Riani—teman satu indekos Citra yang cukup dekat dengan Desi—terisak pelan.
Tidak ada yang bisa Citra lakukan selain membawa Desi ke rumah sakit. Desi harus segera mendapatkan penanganan medis. Keadaannya benar-benar sudah parah.
Saking paniknya, Citra pergi ke rumah sakit hanya dengan mengenakan pakaian tidur yang tidak layak dipakai di luar rumah. Teman-teman satu indekosnya pun tidak ada yang mengingatkan karena mereka sama paniknya dengan Citra. Hingga akhirnya, saat ia tengah berdiri di depan UGD, ada seorang dokter yang tiba-tiba datang menghampiri dan menyampirkan sebuah selimut tipis biru di bahunya.
Citra menahan napas saat melihat wajah dokter tersebut. “Ka-kamu....” Kenapa tiba-tiba dia gagap? Memalukan.
“Apa kamu tidak malu?” ucap dokter itu. Matanya fokus menatap ke arah pintu UGD, padahal Citra-lah yang tengah ia ajak bicara.