Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #1

Bab 1: Kehidupan yang Tampak Sempurna

Neisha terbangun lebih awal dari alarm yang biasanya mengawali harinya. Hening menyelimuti kamar tidur yang besar, hanya terdengar suara napasnya yang pelan. Jam di ponselnya menunjukkan pukul lima pagi. Neisha duduk di tepi tempat tidur, matanya masih mengantuk, namun pikirannya sudah dipenuhi dengan rutinitas yang menunggunya hari itu.

Setelah menghela napas panjang, Neisha bangkit berdiri dan berjalan ke lemari pakaian. Di sana, ia membuka pintu lemari yang berisi deretan gamis syar'i berwarna lembut. Tangannya memilih satu gamis berwarna pastel, yang sudah disiapkan sejak malam sebelumnya. Ketika mengenakan pakaian tersebut, matanya sekilas menangkap bayangan dirinya di cermin besar yang terletak di sudut kamar.

Neisha melihat wanita yang tampak sempurna di sana; hijab yang dikenakannya selalu rapi, setiap lipatannya tersusun dengan sempurna. Namun, di balik mata yang tegas dan wajah yang lembut itu, ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan.

Setelah memastikan penampilannya sudah rapi, Neisha berjalan ke meja rias. Di sana, ada sebuah foto yang tak pernah ia lewatkan untuk dilihat setiap paginya. Foto itu adalah kenangan masa lalu, ketika Gani, suami pertamanya, masih hidup. Di foto tersebut, Gani menggendong Dendi yang masih bayi dengan senyum lebar, sementara Neisha berdiri di samping mereka, memandang bahagia ke arah kamera. Kenangan itu selalu membawa perasaan yang campur aduk; antara bahagia karena pernah memiliki saat-saat seperti itu, dan sedih karena tahu saat-saat itu tak akan pernah kembali.

Neisha menatap foto itu dengan tatapan berat hati, mengingat betapa Gani dulu adalah sosok ayah yang luar biasa bagi Dendi. Kini, setelah Gani tiada dan Anjas, suami keduanya, menghilang tanpa kabar, Neisha merasa beban yang dipikulnya semakin berat. Ia harus menjadi ayah dan ibu bagi Dendi dan Dimas, mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh kedua pria dalam hidupnya.

Setelah menaruh kembali foto itu di meja rias, Neisha keluar dari kamar dengan langkah mantap, meskipun dalam hatinya ada rasa sesak yang tak bisa dihilangkan.

Di ruang makan, Dendi dan Dimas sudah duduk dengan tenang menikmati sarapan mereka. Dendi sibuk membaca buku pelajaran, sementara Dimas asyik mengaduk-aduk bubur ayamnya. Neisha mengambil tempat duduk di samping Dimas dan tersenyum kepada kedua anaknya. Senyum itu hangat, meski Neisha tahu di balik senyum itu ada rasa sakit yang terus menggerogoti hatinya.

"Dendi, jangan lupa buku matematikanya ya," kata Neisha sambil mengambil sendok dan mulai makan.

"Sudah, Bunda. Ada di tas," jawab Dendi tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang dibacanya. Di usianya yang baru 12 tahun, Dendi sudah menunjukkan kedewasaan yang membuat Neisha bangga sekaligus sedih. Ia tumbuh lebih cepat dari usianya, dan Neisha tahu sebagian besar dari itu karena ketiadaan sosok ayah dalam hidupnya.

"Bunda, kapan Ayah Anjas pulang?" suara Dimas yang riang tiba-tiba memecah keheningan. Bocah 7 tahun itu menatap Neisha dengan mata penuh harap.

Lihat selengkapnya