"Kadang, luka yang kita sembunyikan paling dalam adalah yang paling terasa oleh jiwa. Dan hanya hati yang berani yang mampu menghadapinya."
Pagi yang tenang di rumah Neisha selalu dibalut dalam keheningan yang tak terlihat oleh mata, namun terasa menusuk bagi jiwa yang terluka. Di ruang tamu, aroma teh melati menyeruak pelan, mengisi sudut-sudut ruangan dengan kehangatan yang nyaris semu. Dendi dan Dimas, kedua anak yang menjadi matahari bagi hidup Neisha, tertawa riang saat mereka berebut menonton acara kartun di televisi. Dunia di sekitar mereka seolah baik-baik saja, penuh warna dan canda. Namun di balik pemandangan itu, hati Neisha terus menjerit dalam diam.
Ia duduk di kursi makan dengan secangkir teh hangat di genggamannya, memandang kosong ke luar jendela. Matanya menyapu halaman kecil rumah yang kini terasa asing baginya, meski tiap sudut adalah hasil dari jerih payahnya. Di luar sana, matahari pagi menyinari taman bunga yang ia rawat dengan penuh cinta, namun di dalam dirinya, tak ada kehangatan yang mampu menyentuh relung terdalam hatinya. Luka yang ia pendam selama tujuh tahun kini mulai mengeras, seolah menjadi bagian dari dirinya yang tak bisa dilepaskan.
“Bunda, lihat! Aku bisa buat pesawat dari kertas!” seru Dimas tiba-tiba, dengan senyum lebar menghiasi wajah polosnya.
Neisha menoleh dan tersenyum lembut. "Wah, hebat sekali, Nak," balasnya, meskipun pikirannya sedang melayang jauh. Terkadang, ia merasa bersalah karena tak sepenuhnya hadir bagi mereka, pikirannya selalu terseret kembali pada satu sosok—Anjas.
Anjas, suaminya yang menghilang tujuh tahun lalu, adalah bayangan yang tak pernah bisa ia lepaskan. Setiap hari, Neisha bangun dengan pertanyaan yang sama, "Di mana dia? Apakah dia masih hidup?" Tak ada jawaban, hanya keheningan yang terus-menerus memekik di kepalanya. Dia tak tahu apakah harus membenci Anjas karena pergi tanpa jejak, atau tetap menunggu dengan harapan bahwa suatu hari dia akan kembali. Tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar, tapi baginya, waktu seolah berhenti sejak hari itu.
“Bunda, aku lapar,” suara kecil Dimas menginterupsi lamunannya. Dimas, anak bungsunya yang baru berusia tujuh tahun, memandangnya dengan mata besar yang selalu berhasil membuat Neisha tersenyum di tengah keletihannya.
"Oh, iya, Bunda siapkan sarapan dulu, ya," jawab Neisha sambil mengusap rambut Dimas. "Tunggu sebentar, ya, Sayang."
Neisha berdiri dari tempat duduknya dan melangkah menuju dapur, tetapi langkahnya terasa berat. Setiap gerakan sederhana, seperti menyiapkan sarapan, terasa seperti beban besar yang harus ia pikul. Namun, ia terus melakukannya—demi anak-anaknya, demi harapan mereka untuk merasakan kehidupan yang normal meski tanpa sosok ayah. Di dalam hatinya, ia selalu berjanji bahwa mereka tak akan pernah merasakan kesedihan yang ia rasakan. Tetapi, semakin hari, semakin sulit untuk menyembunyikan perasaannya.
Saat memecahkan telur di atas wajan, Neisha memandangi minyak yang mendidih. Ia merasakan perutnya bergejolak, bukan karena lapar, tetapi karena kegelisahan yang tak pernah hilang. Kadang-kadang, dalam momen seperti ini, ia ingin melarikan diri—melarikan diri dari segalanya, dari kenangan, dari rasa kehilangan yang tak pernah berakhir. Namun, kemana ia bisa pergi? Setiap sudut hidupnya terikat pada anak-anaknya. Merekalah jangkar yang menahannya tetap berdiri di tengah badai.