Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #2

Bab 2: Jejak Masa Lalu

"Setiap langkah membawa kita lebih dekat pada kebenaran, tetapi kadang kita harus berjalan mundur untuk mengerti dari mana rasa sakit itu berasal."

Malam itu, suasana di dalam rumah terasa sunyi. Neisha duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke dinding yang dihiasi foto-foto keluarganya. Dalam cahaya remang-remang lampu, bayangan masa lalu kembali menggerayangi pikirannya, mengingatkan akan sosok Gani, suami pertamanya, yang selalu ada di sisinya.

Gani. Nama itu bagaikan mantra yang setiap kali terbisik di benaknya, seolah memanggil kenangan yang terpendam di dasar lautan hatinya. Gani adalah cinta pertamanya, cintanya yang murni dan penuh kedamaian. Ia lelaki dengan senyum teduh, yang selalu tahu cara membuat dunia terasa ringan meski badai datang. Bersamanya, Neisha pernah percaya bahwa kebahagiaan bukanlah hal yang jauh dari jangkauan, melainkan sesuatu yang dapat ia genggam dengan tangan terbuka.

Namun, kebahagiaan itu perlahan direnggut. Seiring waktu, penyakit ganas yang merongrong tubuh Gani menjalar ke seluruh kehidupan mereka. Setiap hari Neisha menyaksikan lelaki itu semakin lemah, seperti daun kering yang diterbangkan angin musim gugur. Kanker paru-paru itu datang seperti perampok di tengah malam, diam-diam mengambil setiap detak kehidupan Gani, menyisakan Neisha dalam kesedihan yang tak terkatakan.

"Kenapa, Gani?" Neisha berbisik, suaranya hampir tak terdengar. "Kenapa kau harus pergi begitu cepat?" Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merindukan senyumnya, tawanya, dan semua hal kecil yang dulu begitu berarti. Gani adalah lelaki yang memberinya rasa aman dan cinta yang tulus. Ia adalah segalanya bagi Neisha sebelum dunia mengubah segalanya menjadi gelap.

Neisha berdiri dan berjalan ke arah jendela, menatap bulan yang bersinar di langit malam. "Apa kau melihatku di sana? Apa kau tahu betapa aku merindukanmu?" tanyanya dalam hati. Ia bisa membayangkan Gani mengangguk, seolah ia ada di sana, menatapnya dengan penuh cinta.

Kembali ke kenangan, Neisha teringat hari-hari ketika mereka bekerja sama di butik kecil mereka. Di antara tumpukan kain dan sketsa busana, tawa mereka mengisi udara. "Neisha, coba lihat yang ini," kata Gani sambil menunjukkan selembar kain berwarna cerah. "Sangat cocok untuk koleksi musim panas, bukan?"

"Ya, tapi aku rasa warna ini terlalu mencolok," jawab Neisha sambil tersenyum. "Kita butuh sesuatu yang lebih lembut untuk wanita-wanita yang mengenakan busana ini."

Gani tertawa. "Kau selalu saja memilih yang aman. Kadang kita perlu sedikit berani, sayang." Ia melangkah mendekat, mengelus pipi Neisha dengan lembut. "Percayalah, cintaku, dunia butuh warna."

Kenangan itu membuat Neisha tersenyum sekaligus menangis. Betapa Gani selalu tahu cara mengangkat semangatnya. Namun, saat kanker mulai menggerogoti tubuh Gani, tawa itu perlahan memudar. Neisha ingat malam ketika ia pertama kali melihat Gani terbatuk-batuk, napasnya terengah-engah.

"Gani, kau harus ke dokter," desaknya, cemas. "Ini tidak bisa dibiarkan."

Gani hanya tersenyum lemah. "Neisha, aku baik-baik saja. Hanya kelelahan. Jangan khawatir."

"Tapi aku khawatir! Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dirimu," ucap Neisha, suaranya bergetar. "Kau adalah segalanya bagiku."

Lihat selengkapnya