Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #2

Bab 2: Hati yang Retak

Pagi itu, Neisha terbangun dengan tubuh yang terasa lelah, seolah ada beban tak kasatmata yang menekan seluruh tubuhnya. Mimpi buruk tentang Anjas yang menghantuinya semalam membuat tidurnya tak nyenyak. Dia duduk di tepi tempat tidurnya, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Matanya bengkak, dan kantung mata yang biasanya tersamar kini terlihat jelas. Kamar tidur terasa begitu sunyi, jauh dari kehangatan dan kebahagiaan yang dulu pernah mengisi ruangan ini.

Dengan langkah gontai, Neisha mulai merapikan tempat tidurnya. Saat tangannya merapikan selimut, pandangannya tertuju pada foto Gani dan anak-anak yang terletak di meja rias. Foto itu menggambarkan masa-masa bahagia ketika mereka semua masih bersama, tertawa tanpa beban. Kini, setiap kali melihat foto itu, Neisha hanya merasakan kesepian yang semakin dalam, meski kenangan indah itu masih terbingkai rapi dalam pigura yang sudah mulai pudar warnanya.

Ketika selesai merapikan tempat tidur, Neisha melangkah menuju kamar mandi. Cermin besar di dalam kamar mandi memantulkan wajahnya yang lelah dan mulai menua. Kerutan halus di sudut matanya semakin jelas, tanda dari waktu yang terus berjalan tanpa kompromi. Dengan perasaan hampa, Neisha mencuci wajahnya, berharap air dingin bisa menghapus jejak-jejak kesedihan yang terpancar dari wajahnya. Setelah itu, ia mengenakan gamis syar'i yang telah disiapkan sejak semalam. Riasan sederhana dipakai dengan hati-hati, bukan untuk mempercantik, melainkan untuk menutupi kelelahan yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Di ruang makan, Dendi dan Dimas sudah duduk menunggu sarapan. Di atas meja, sarapan sederhana telah tersaji—roti bakar, telur orak-arik, dan segelas susu hangat. Neisha berusaha tersenyum kepada kedua anaknya, meskipun hatinya masih terasa berat.

"Dendi, bagaimana harimu kemarin?" Neisha mencoba memulai percakapan, menatap anak sulungnya dengan penuh harap.

Dendi menatap piringnya sejenak, lalu menjawab pelan, "Biasa aja, Bun."

"Kenapa nggak cerita sama Bunda? Bunda kan selalu ada buat kamu."

Dendi hanya mengangkat bahu. "Nggak ada yang perlu diceritain."

Neisha merasa ada jarak yang semakin sulit dijembatani antara mereka. "Kalau ada apa-apa, Dendi bisa cerita ke Bunda kapan aja, ya."

Dimas, yang duduk di sisi lain meja, tiba-tiba menceriakan suasana. "Bunda, tadi di sekolah aku diajarin bikin prakarya dari kertas warna-warni! Aku bikin bintang, terus warnanya ada yang merah, kuning, sama biru. Guru bilang punyaku yang paling bagus!" Dimas bercerita dengan penuh semangat, senyumnya lebar.

Neisha tersenyum tipis, berusaha ikut merasakan kebahagiaan anak bungsunya. "Wah, keren sekali, Dimas! Nanti sore Bunda lihat hasilnya, ya."

"Ya, Bun!" Dimas mengangguk penuh semangat, lalu kembali menyantap sarapannya.

Namun, pikiran Neisha tetap tertuju pada Dendi yang semakin tertutup. Setelah sarapan selesai, Neisha mengantar Dimas ke sekolah dengan perasaan cemas. Ia menatap Dendi yang pergi sendiri seperti biasa, berharap bisa mendekati anak itu, namun merasa ada jarak yang semakin sulit dijembatani.

Sesampainya di kantor, Neisha mencoba menenggelamkan diri dalam rutinitas kerja. Pagi itu, ia memimpin rapat dengan timnya, memberikan arahan dan target baru untuk proyek yang sedang mereka kerjakan. Neisha berbicara dengan tegas, namun di balik sikap profesionalnya, pikirannya tak bisa lepas dari bayangan masa lalu.

Lihat selengkapnya