Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #4

Bab 4: Kenangan yang Menyakitkan

Malam semakin larut. Di kamar tidur yang sepi, hanya terdengar suara napas teratur dari Dendi dan Dimas yang tertidur pulas di samping Neisha. Ia duduk di tepi tempat tidur, memandangi wajah kedua anaknya dengan penuh kasih. Namun, di balik senyuman lembutnya, ada kesedihan yang tak bisa dihilangkan.

 Neisha menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. Di pangkuannya, buku misterius yang baru saja ia baca tergeletak, seolah menjadi pengingat akan luka-luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.

 "Apa yang sebenarnya terjadi, Anjas? Mengapa kau pergi begitu saja?" gumam Neisha pada dirinya sendiri, sambil memandang bayangan wajahnya di cermin yang buram di seberang ruangan. Sejenak, bayangan Anjas terlintas di benaknya—sosok yang pernah begitu dekat, namun kini terasa jauh dan tak terjangkau.

 Malam itu, Neisha tidak bisa menahan diri dari kenangan tentang Anjas, suami keduanya. Ingatan tentang hari-hari pertama mereka bertemu kembali memenuhi pikirannya. Ia bisa melihat dengan jelas senyuman Anjas saat mereka pertama kali bertemu, tidak lama setelah kematian Gani, suami pertamanya.

 "Kenapa kau terlihat sedih?" tanya Anjas pada pertemuan pertama mereka. Neisha ingat betapa suara itu membuatnya merasa hangat di tengah kesedihan yang ia rasakan.

 "Aku baru kehilangan seseorang yang sangat kucintai," jawab Neisha lirih saat itu, masih terasa berat baginya untuk mengungkapkan kepedihan hatinya.

 Anjas mengangguk pelan, tatapannya penuh pengertian. "Aku tidak bisa menggantikan dia, Neisha. Tapi, aku bisa mencoba membuatmu tersenyum lagi, jika kau mengizinkannya."

 Kata-kata itu yang membuat Neisha membuka hatinya. Harapan baru perlahan tumbuh dalam dirinya, dan ia berpikir mungkin inilah jawaban atas doa-doanya. Namun, harapan itu hancur ketika Anjas pergi tanpa jejak, meninggalkannya dalam kebingungan dan kesedihan.

 "Kenapa kau pergi, Anjas? Apa yang salah denganku?" tanya Neisha lagi, kali ini lebih keras, seolah berharap jawaban bisa muncul dari kegelapan kamar yang sunyi.

 Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang terasa semakin mencekam. Neisha menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang.

Lihat selengkapnya