"Dalam kesendirian, kita sering kali bertemu dengan bayangan masa lalu yang menghantui, mengingatkan kita pada luka yang belum sembuh."
Malam larut menghamparkan kedamaian di dalam rumah kecil Neisha. Suara detakan jam dinding berdentang lembut, menandakan waktu yang telah beranjak jauh. Neisha terbangun dari tidurnya, matanya terbuka perlahan, dan di sampingnya, ia melihat Dendi dan Dimas terlelap dalam mimpi mereka. Dalam keheningan itu, rasa damai mengalir, namun bayang-bayang masa lalu mengintai di sudut-sudut pikirannya.
Neisha menggeser tubuhnya, berusaha untuk tidak membangunkan anak-anak. Di bawah cahaya remang-remang lampu tidur, ia mengambil buku Dream Catcher yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Halaman-halamannya, yang sering ia baca sebelum tidur, seolah memanggilnya kembali, mengundangnya untuk menjelajahi lautan perasaan yang terkunci dalam relung hatinya.
Dengan lembut, ia membuka buku itu dan menemukan kalimat-kalimat yang mendalam, menunggu untuk menggugah ingatan dan perasaan yang telah lama terpendam. Ia mulai membaca, suara lembutnya memecah keheningan malam. “Di dalam kegelapan, kita belajar melihat cahaya,” tulisnya di dalam hati, merenungkan kembali makna dari setiap kata.
Saat membaca, kenangan akan Anjas tiba-tiba datang menyeruak, seperti bayangan kelam yang tak pernah pudar. Ia ingat bagaimana Anjas menjadi sosok yang seharusnya membawanya keluar dari kegelapan, namun sebaliknya, ia pergi dan meninggalkan luka yang lebih dalam. “Dimas masih dalam kandungan saat kau menghilang, Anjas,” Neisha berbisik pada diri sendiri, suara hatinya penuh kegetiran. “Apa yang kau cari hingga kau tega meninggalkan kami?”
Air mata mulai mengalir di pipinya. Kenangan tentang Anjas selalu mengingatkannya pada harapan yang hancur. Ia pernah percaya bahwa Anjas adalah jawaban atas semua kesedihannya, tetapi harapan itu hancur begitu saja. “Mengapa kau pergi tanpa memberi alasan? Mengapa kau tidak memberiku kesempatan untuk memahami?” Monolog ini bergetar dalam hatinya, menumpuk rasa sakit yang seolah tak pernah berakhir.
Dendi terbangun, mengusap matanya. “Bunda?” panggilnya, suaranya masih serak tidur. “Kenapa Bunda menangis?”
Neisha tersenyum, berusaha menyembunyikan kesedihannya. “Tidak, sayang. Bunda hanya sedang membaca buku.” Dia menunjukkan Dream Catcher di tangannya, berharap anaknya tidak mendalami lebih jauh.
Dendi duduk, dan dengan mata yang masih mengantuk, ia berkata, “Aku suka kalimat-kalimat di dalamnya. Bisa Bunda bacakan untukku?”
Neisha merasa tertekan oleh permintaan itu, tetapi keinginan Dendi untuk mendengar cerita membuat hatinya hangat. “Baiklah, Nak. Mari kita baca bersama,” jawabnya, berusaha mengalihkan perhatian dari kenangan pahit yang masih membayang.
Mereka mulai membaca bersama. Neisha memilih bagian tentang harapan dan keberanian, menyalurkan semangat yang ingin ia tanamkan pada anak-anaknya. “Kita harus berani menghadapi setiap ketakutan, Dendi. Dalam hidup, ada saat-saat sulit, tetapi kita selalu bisa menemukan kekuatan dalam diri kita.”
Dendi mendengarkan penuh perhatian, dan ketika Neisha selesai membaca, dia berkata, “Bunda, apa kita akan selalu menemukan kekuatan itu? Seperti dalam buku ini?”