"Anak-anak adalah cermin dari harapan kita, tetapi terkadang mereka juga memantulkan luka yang tak terkatakan."
Di suatu pagi yang cerah, Neisha duduk di sudut ruang tamu dengan buku Dream Catcher di pangkuannya. Sinar matahari menembus jendela, menciptakan permainan cahaya yang indah di lantai. Ia membuka halaman pertama dan mulai membaca, meresapi setiap kalimat yang mengalir, seolah mencari pelipur lara di antara kata-kata.
“Dalam kehidupan, ada saat-saat ketika kita merasa terjebak antara harapan dan kenyataan,” Neisha membisikkan kepada dirinya sendiri. Dalam beberapa saat, ia dapat merasakan ketenangan, tetapi kegelisahan di dalam hatinya tak dapat dihindari. Hari-hari belakangan ini dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang datang dari Dendi dan Dimas, pertanyaan yang semakin sering dan membuatnya terpuruk.
“Bun, sebenarnya kapan Ayah pulang?” suara Dendi, yang kini berusia 12 tahun, menggema di benaknya. “Kenapa Ayah tidak pernah menghubungi kita?” Suara lembut Dimas yang masih berusia 6 tahun ikut menambah beban pikirannya.
“Anak-anak adalah cermin dari harapan kita…” Neisha berbisik, tetapi harapan itu kini terasa berat, seperti beban tak terlihat yang harus ia pikul. Setiap kali pertanyaan itu muncul, hati Neisha seolah tertusuk, mengingatkan akan luka yang belum sepenuhnya sembuh. Ia terjebak dalam dilema: bagaimana melindungi anak-anaknya dari rasa sakit yang ia rasakan, tetapi di saat yang sama, bagaimana menjawab pertanyaan yang tak terhindarkan itu?
“Dendi, Dimas,” panggilnya lembut, berusaha menyiapkan hatinya. “Ayah… Ayah masih… masih berusaha.” Kata-kata itu keluar tanpa ia rencanakan, dan terasa seperti upaya yang sia-sia. Ia sendiri tidak tahu apa yang “berusaha” itu berarti. Seolah-olah, kata-kata tersebut hanyalah jembatan menuju ketidakpastian.
Dendi memandangnya dengan tatapan yang penuh rasa ingin tahu, sementara Dimas duduk di sebelahnya, matanya bersinar penuh harapan. “Tapi kenapa Ayah tidak pernah kembali, Bun?” tanya Dendi lagi, kali ini dengan nada yang lebih dalam. “Apakah kita tidak cukup baik untuk Ayah?”
Neisha merasa hatinya terhimpit. “Tidak, sayang, kamu dan Dimas adalah yang terbaik. Kadang, orang dewasa menghadapi hal-hal yang sulit dipahami oleh anak-anak. Ayah… Ayah mungkin menghadapi kesulitan sendiri.” Suara Neisha bergetar, dan ia berusaha keras untuk tidak membiarkan air mata mengalir.
Dimas, yang mendengar percakapan itu, meraih tangan Neisha. “Bunda, kita bisa mencarinya, kan? Kita bisa pergi ke tempat-tempat yang Ayah suka!” Ia berbicara dengan keyakinan yang tulus, seolah-olah hal itu bisa memperbaiki semuanya.