Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #6

Bab 6: Dilema Besar

 Matahari mulai tenggelam beberapa saat setelah Anjas muncul kembali di hadapan Neisha, masih terbayang-bayang wajah Anjas yang dipenuhi penyesalan yang begitu dalam. Neisha, meski hatinya bergolak, tetap berdiri tegak.

 Tangannya gemetar saat menggenggam pegangan pintu, menahan diri untuk tidak mengikuti dorongan hatinya yang ingin menghentikan Anjas dan meminta penjelasan lebih lanjut.

 "Dimas... Dimas bertanya padaku," suara Neisha pecah, "Apakah kamu ayahnya."

 Anjas mengangguk pelan, menyadari beratnya situasi yang kini ia hadapi.

 "Aku akan menjelaskan segalanya. Tapi aku tahu, kamu butuh waktu untuk mencerna ini semua."

 Neisha hanya mengangguk kecil. Tanpa berkata lebih, ia membuka pintu lebih lebar, memberikan jalan bagi Anjas untuk pergi.

 Dengan langkah berat, Anjas meninggalkan rumah itu, membawa serta ribuan pertanyaan Niesha yang belum terjawab.

 Saat pintu tertutup, Neisha menyandarkan tubuhnya pada daun pintu, napasnya berat. Ia menutup mata, mencoba meredam badai emosi yang bergelora di dadanya.

 Udara sepi, hanya suara detak jantungnya yang mengisi ruangan. Rasa kehilangan mendadak menyeruak, meski ia tahu ini bukan perpisahan yang sebenarnya.

 Namun tetap saja, ada sesuatu yang hilang dalam dirinya saat Anjas pergi, sesuatu yang tak ia mengerti sepenuhnya.

 Malam ini, dengan lampu ruang tamu yang redup, Neisha duduk sendirian di sofa. Di tangannya, secangkir teh hangat yang ia genggam erat, namun tidak ia minum. Matanya terpaku ke depan, menatap kosong, seakan menunggu jawaban yang entah dari mana datangnya.

 Bayangan masa lalu tiba-tiba menyeruak di benaknya. Bagaimana dulu ia bertahan saat Anjas pergi tanpa jejak, meninggalkannya untuk menghadapi kehidupan yang keras seorang diri.

 Neisha mengingat saat-saat ketika ia harus menjadi ibu sekaligus ayah bagi Dendi dan Dimas. Betapa ia harus menghadapi pandangan miring orang-orang, bisikan-bisikan yang tak pernah lelah menghakiminya.

 Flashback singkat terlintas di pikirannya—saat Dimas demam tinggi dan ia terpaksa berjaga sendirian sepanjang malam, menunggu keajaiban yang bisa meredakan sakit anaknya.

 Tidak ada Anjas di sana untuk membantunya. Tidak ada suami yang bisa ia andalkan. Neisha menahan air matanya yang hampir tumpah, menyadari betapa beratnya beban yang pernah ia pikul seorang diri.

 Namun di balik semua itu, ada perasaan lain yang tiba-tiba muncul. Rasa kasihan, mungkin bahkan simpati, pada Anjas yang tampak begitu menyesal siang tadi.

 Neisha tak bisa mengabaikan tatapan mata Anjas yang penuh penyesalan dan rasa bersalah. Tapi apakah cukup? Apakah rasa penyesalan itu bisa menebus luka yang telah ia tinggalkan?

 ***

 Neisha terdiam, terjebak dalam dialog batin yang tak berujung.

 "Apakah aku harus memaafkannya?" tanya Neisha pada dirinya sendiri.

Lihat selengkapnya