Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #6

Bab 6: Air Mata vs Keringat

"Ada dua jenis air mata: yang jatuh karena kehilangan, dan yang jatuh karena usaha yang tak kenal lelah."

Neisha menutup buku Dream Catcher perlahan, membiarkan jemarinya yang halus menyusuri permukaan halamannya. Setiap kata dalam buku itu terasa begitu akrab, seolah menggambarkan pergulatan batinnya sendiri. Air mata yang pernah ia tumpahkan di masa lalu, dan keringat yang terus ia cucurkan kini, mengalir bersamaan dalam ingatannya. Ada luka yang belum sembuh, tapi ada juga kekuatan yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Gani.

Nama itu bergema di benaknya. Suaminya yang pertama, yang memberinya cinta tanpa syarat, yang membuatnya merasa utuh. Tapi kehidupan tak selalu berpihak. Gani, sosok yang semula memberikan Neisha rasa aman dan perlindungan, direnggut oleh takdir. Kanker ganas itu perlahan-lahan menghancurkan tubuh Gani, dan bersamanya, harapan-harapan Neisha turut terkubur.

“Aku akan baik-baik saja, Neisha... Kamu harus kuat, kamu harus bisa...” 

Kata-kata terakhir Gani di atas ranjang rumah sakit masih tergiang di telinganya. Saat itu, Neisha hanya bisa mengangguk, walaupun hatinya hancur berantakan. Ia memaksakan senyum agar Gani bisa pergi dengan tenang, namun setelah kepergian Gani, dinding pertahanan Neisha ambruk, dan ia terjatuh ke dalam kesedihan yang pekat.

Setiap malam setelah pemakaman Gani, Neisha menangis sendirian di kamar, mencoba meresapi kenyataan yang pahit. Air mata yang jatuh tak pernah terasa cukup untuk mengobati luka yang menganga di hatinya. Di pagi hari, ketika Dendi—putra kecilnya—menatapnya dengan mata polos yang belum mengerti arti dari kehilangan, Neisha harus menyembunyikan duka itu. Senyum yang ia berikan kepada anaknya adalah topeng yang ia kenakan dengan susah payah. 

Dalam kepedihan itu, bisnis yang ia bangun bersama Gani menjadi satu-satunya penghiburan. Usaha busana muslim yang awalnya hanya hobi mereka berdua, perlahan tumbuh menjadi sumber penghidupan bagi Neisha dan anaknya. Busana Hanun, nama usaha itu, seperti napas baru bagi Neisha. Setiap kali rasa kehilangan menyergapnya, Neisha menuangkan perasaannya ke dalam desain-desain yang ia buat, mencurahkan setiap detailnya dengan cinta yang pernah ia rasakan dari Gani. Di situlah air mata berganti menjadi keringat.

“Gani, aku akan teruskan mimpi kita...” gumam Neisha suatu malam di depan mesin jahit, meski tak ada jawaban dari angin yang berdesir. Ia tahu, di balik usahanya yang tak kenal lelah, ada janji yang ingin ia penuhi—untuk bertahan, untuk menjadi kuat, untuk tidak menyerah.

Lihat selengkapnya