“Terkadang, masa lalu kembali bukan untuk diperbaiki, tetapi untuk menguji apakah kita sudah benar-benar belajar darinya.”
Tangan Neisha tampak gemetar menutup halaman terakhir dari buku Dream Catcher yang baru saja ia baca. Kata-kata itu terasa seperti pedang bermata dua, menusuk halus namun dalam ke jantung hatinya. Masa lalu... kenapa harus selalu kembali saat hidupnya sudah tenang, saat ia sudah berhasil menata serpihan yang hancur?
Hari itu tak ada tanda-tanda akan datangnya badai. Angin sore menyapu lembut dedaunan, matahari terbenam perlahan di cakrawala, memberikan sinar keemasan pada dunia yang semakin pudar. Namun, kedamaian ini seperti selubung tipis yang segera akan terkoyak. Pintu depan rumahnya terbuka, dan di sana, di ambang pintu yang pernah dilalui dengan langkah-langkah penuh harapan, berdiri seorang pria yang wajahnya begitu akrab namun terasa asing: Anjas.
"Neisha..." suaranya parau, seperti embun di pagi hari yang mulai menguap oleh sinar matahari. Ia berdiri tegak, namun ada keletihan di matanya, seakan perjalanan panjang membawanya kembali ke tempat ini.
Neisha tidak menjawab. Lidahnya kelu, seolah-olah seluruh kata-kata yang ia simpan di hatinya selama bertahun-tahun hilang begitu saja. Bagaimana mungkin Anjas, yang tujuh tahun lalu menghilang tanpa jejak, kini berdiri di depannya? Tanpa pesan, tanpa penjelasan, ia pergi meninggalkan luka yang hampir tak terobati. Dan kini... dia kembali?
"Kenapa kau kembali?" Neisha akhirnya berhasil menemukan suaranya, meski nada suaranya datar, nyaris tak terdengar oleh gemuruh emosi.
Anjas menatapnya dalam, lalu menunduk. "Aku... aku tidak ingat banyak tentang kita, Neisha." Kata-kata itu seperti angin dingin yang menusuk tulang. "Kecelakaan itu, tujuh tahun lalu... aku kehilangan sebagian besar ingatanku."
Hening. Hanya deru napas yang terdengar di antara mereka, seperti angin yang berhenti sejenak untuk mendengarkan percakapan yang tak terucapkan.
"Aku tidak tahu harus mulai dari mana," lanjut Anjas, suaranya serak. "Tapi aku tahu satu hal... Aku ingin memperbaiki semuanya."
Sejenak Neisha Mematung mendengar perkataan Anjas, lalu dia tertawa, tawa yang hambar dan kering, seperti dedaunan yang terinjak di musim gugur. "Memperbaiki?" Ia mendongak, matanya menatap Anjas dengan tatapan penuh luka yang telah lama tersembunyi. "Kau pikir, setelah bertahun-tahun kau bisa kembali begitu saja dan... memperbaiki semuanya?"
Anjas terdiam, tak mampu berkata-kata. Wajahnya menegang, dan Neisha tahu, di balik amnesia yang ia klaim, ada sesuatu yang tetap sama: ketidakberdayaannya untuk menjelaskan mengapa ia pergi.