“Kepercayaan adalah tali yang rapuh. Sekali terputus, tidak ada simpul yang bisa mengembalikan bentuknya seperti semula.”
Neisha duduk di tepi ranjangnya, buku Dream Catcher terbuka di pangkuannya. Lampu meja menyala temaram, seakan malu menerangi bayangan yang mengendap di sudut-sudut ruangan. Dalam diam, ia membaca ulang halaman yang sama, berulang kali, tetapi kata-kata itu seakan tak lagi bermakna. Hatinya terusik, pikirannya melayang ke arah yang tak bisa ia kendalikan. Setiap huruf yang tertera di halaman seolah memanggil namanya, berbisik tentang kenyataan yang tak ingin ia hadapi.
Anjas. Nama itu kembali memenuhi pikirannya. Pria yang selama tujuh tahun terakhir menjadi bayang-bayang samar di benaknya, kini hadir begitu nyata. Terlalu nyata, hingga kehadirannya menggetarkan pondasi emosi yang telah Neisha bangun dengan susah payah. Kepercayaan yang dulu pernah diberikan begitu tulus, kini terasa seperti tali rapuh yang tergantung di antara jurang keraguan.
"Apa yang kau sembunyikan dariku, Anjas?" gumam Neisha lirih, seakan bertanya pada udara yang hampa.
Dia tahu ada sesuatu yang tidak benar. Terdapat celah di balik cerita Anjas—kecelakaan, amnesia, hilangnya ingatan—semua itu seperti potongan puzzle yang tidak pernah benar-benar pas. Di satu sisi, Anjas tampak begitu tulus. Dia hadir untuk anak-anak mereka, mencoba mengembalikan tawa yang telah lama hilang. Namun di sisi lain, ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa Neisha pahami, sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.
**
“Bun, ayah di mana?” tanya Dendi suatu pagi saat sarapan. Anak itu menyuap makanannya dengan semangat, tampak lebih ceria dari biasanya sejak kehadiran Anjas kembali ke dalam hidup mereka.
“Dia di luar, mungkin sedang berjalan-jalan. Kamu tahu, ayahmu suka dengan udara pagi,” jawab Neisha sambil tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang menyelinap di balik kata-katanya.
Dendi tersenyum, dan Neisha merasakan hatinya mencelos. Dendi dan Dimas memang tampak bahagia dengan kehadiran Anjas. Senyum anak-anaknya adalah alasan mengapa ia terus bertahan, meskipun hatinya diliputi oleh kecurigaan yang semakin hari semakin kuat. Setiap malam, sebelum tidur, ia akan berbaring dengan rasa hampa yang tak bisa dihilangkan, merenungi apa yang sebenarnya terjadi.
"Kenapa semua ini terasa salah?" pikir Neisha, menatap cermin di kamar tidurnya. Wajahnya tampak lelah, bukan hanya karena kurang tidur, tapi juga karena beban emosional yang kian berat.
Malam-malam yang tenang berubah menjadi malam-malam penuh kegelisahan. Neisha sering terbangun di tengah malam, merasa seperti ada yang tidak beres, tetapi tak bisa meletakkan jarinya pada apa yang mengganggunya. Satu hal yang ia tahu pasti: ada sesuatu yang disembunyikan oleh Anjas. Ia tahu betul perilaku suaminya. Meski Anjas mencoba menunjukkan penyesalan dan usaha untuk memperbaiki, ada celah kecil di balik setiap senyumnya, celah yang semakin hari semakin membesar.
**
Suatu malam, ketika anak-anak sudah tidur, Neisha menemukan Anjas duduk di ruang tamu, memandangi sebuah foto lama mereka berdua. Cahaya lampu di sudut ruangan memantulkan bayangan samar pada wajah Anjas, dan Neisha melihat sesuatu yang aneh di matanya. Kesedihan? Penyesalan? Atau mungkin kebohongan yang tersimpan?
“Kenapa kau masih memandangi foto itu?” Neisha duduk di kursi di seberangnya, suaranya tenang namun ada nada kecurigaan yang tidak bisa ia sembunyikan.