Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #8

BAB 8: Kepulangan yang Membawa Pikiran

Neisha melangkah keluar dari taman dengan langkah yang lambat, membiarkan angin sore yang sejuk menyentuh wajahnya. Seolah-olah udara di sekitarnya tiba-tiba terasa lebih berat, membawa bersamanya beban pikiran yang baru saja ia timbun setelah pertemuannya dengan Anjas.

 Jalan setapak yang biasa dilalui Neisha setiap hari kini terasa berbeda, lebih panjang, lebih sunyi. Suara riuh anak-anak yang bermain di sekitar tidak lagi terdengar di telinganya; hanya ada desiran angin dan langkah kakinya yang tak teratur.

 Pikiran Neisha berputar-putar tanpa henti. Kata-kata Anjas masih tergiang-ngiang di telinganya, memenuhi benaknya dengan campuran emosi yang sulit ia jelaskan. "Aku rindu kalian," kata Anjas tadi, dan entah kenapa, kata-kata itu menembus jauh ke dalam hatinya. Rindu? Setelah sekian lama? Bagaimana mungkin?

 "Kenapa sekarang, Anjas?" gumam Neisha pada dirinya sendiri. "Kenapa baru sekarang kamu merasakan rindu itu?"

Neisha berhenti sejenak di trotoar, memandangi jalanan yang tampak sepi. Langit sudah mulai berubah warna menjadi oranye keemasan, tanda bahwa senja akan segera tiba. Namun, Neisha tidak peduli dengan keindahan senja kali ini. Kepalanya penuh dengan bayangan masa lalu—kenangan-kenangan yang dulunya manis, tetapi kini terasa pahit.

 Malam-malam panjang yang dihabiskan dengan menenangkan Dendi saat ia menangis karena merindukan ayahnya.

Hari-hari berat di mana Neisha harus memutar otak, bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga tanpa adanya dukungan dari Anjas. Semua itu menghantui pikirannya, seakan-akan baru terjadi kemarin.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?" Neisha menghela napas panjang, berusaha meredakan gejolak di hatinya. "Apakah aku harus memberi Anjas kesempatan lagi? Tapi... bagaimana jika ia pergi lagi? Bagaimana jika anak-anak harus merasakan kehilangan yang sama untuk kedua kalinya?"

 

Langkahnya terasa semakin berat ketika ia mendekati rumah. Dari kejauhan, ia bisa melihat Dendi dan Dimas bermain di halaman depan, tertawa dan berlari-larian. Pemandangan itu seharusnya membawa senyum di wajahnya, tetapi saat ini hanya membuat hatinya semakin teriris.

 Ketika Neisha akhirnya tiba di depan rumah, ia berhenti sejenak, mengumpulkan keberanian untuk melangkah masuk. Ia tahu bahwa anak-anaknya pasti akan menanyakan hasil pertemuannya dengan Anjas, dan ia tidak tahu harus berkata apa. Bagaimana ia bisa menjelaskan perasaannya yang campur aduk ini kepada mereka?

 Dengan napas yang berat, Neisha membuka pintu dan melangkah masuk. Suara tawa Dendi dan Dimas menyambutnya, tetapi kali ini, Neisha tidak merespons dengan senyuman hangat seperti biasanya. Ia hanya memberikan anggukan kecil sebelum melangkah menuju ruang tamu dan duduk di sofa.

 Dendi yang menyadari perubahan sikap ibunya langsung mendekat. "Bun, gimana tadi? Ayah mau balik, kan?"

 Pertanyaan itu langsung menghantam Neisha seperti pukulan di dada. Ia menatap mata Dendi yang penuh harap, tetapi ia tidak bisa memberikan jawaban yang pasti. "Bunnda... Bunnda belum tahu, Nak," jawab Neisha pelan. "Ayah ingin kembali, tapi kita perlu waktu untuk memikirkannya."

 Dendi terlihat kecewa, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Sementara itu, Dimas yang lebih kecil tampak tidak terlalu peduli dan kembali bermain dengan mainannya.

 Neisha merasakan ada beban yang bertambah di hatinya—harapan Dendi adalah sesuatu yang tidak ingin ia hancurkan, tetapi pada saat yang sama, ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri tentang ketakutan dan keraguan yang ia rasakan.

Lihat selengkapnya