Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #9

Bab 9: Dilema di Tengah Keheningan

“Ketika hati berada di persimpangan, terkadang keheningan adalah suara paling lantang.”

Neisha duduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong, buku Dream Catcher terbuka di pangkuannya. Setiap kata yang tertulis di halaman itu seperti berbisik lirih namun tajam, menyusup ke dalam pikirannya, mengusik emosi yang coba ia pendam. Malam semakin larut, dan keheningan di sekeliling rumah terasa mencekam, seolah-olah menyimpan rahasia yang menunggu untuk terungkap. Angin malam berembus pelan dari jendela, membawa suara samar seperti bisikan kenangan yang seharusnya sudah dilupakan, namun tetap hidup dan membekas di sudut hatinya.

Ia menutup bukunya perlahan, memejamkan mata, mencoba menenangkan hati yang resah. Namun, suara di dalam kepalanya semakin keras. Dialog batinnya menggelegar, seolah-olah dirinya sendiri terpecah antara dua bagian yang tak bisa bersatu. Di satu sisi, ada keinginan untuk memaafkan, memberi kesempatan pada Anjas yang sudah kembali dan mengaku ingin memperbaiki kesalahan. Di sisi lain, ada luka yang tak pernah sembuh sepenuhnya, luka yang mengoyak setiap kali ia mengingat tujuh tahun penuh kesunyian dan penderitaan.

“Apakah aku bisa memaafkannya?” bisiknya kepada diri sendiri, meski ia tahu tak ada jawaban yang bisa ia terima dengan sepenuh hati.

Keheningan ruangan menjadi saksi bisu pergulatan batinnya. Neisha tahu, apa pun keputusan yang ia ambil, tidak akan ada yang sempurna. Memaafkan Anjas berarti membuka kembali luka yang telah lama ia coba sembuhkan, tapi menolaknya berarti memisahkan anak-anaknya dari sosok ayah yang selama ini mereka rindukan—meskipun mereka tidak tahu seberapa besar kegelapan yang mungkin disimpan oleh pria itu.

Neisha berdiri dari tempat duduknya, berjalan ke jendela, dan memandangi bulan yang hampir purnama. Cahaya rembulan yang lembut menerangi pekarangan rumahnya yang sepi, menciptakan bayangan-bayangan panjang di antara pohon-pohon yang berdiri angkuh. Ia ingat betapa sunyinya malam-malam yang ia habiskan sendirian selama Anjas menghilang, tanpa ada kepastian apakah suaminya itu masih hidup atau sudah tiada. Namun, lebih menyakitkan dari kehilangan adalah ketidakpastian, sebuah penantian tanpa jawaban.

**

Di ruang tamu, Anjas duduk di sofa, tampak gelisah. Pikirannya sama berkecamuknya seperti hati Neisha. Ia tahu ada banyak hal yang belum terucap, banyak penjelasan yang belum ia berikan kepada istrinya. Keheningan yang menggantung di antara mereka malam ini bukanlah keheningan yang nyaman, melainkan keheningan yang penuh ketidakpastian, seperti badai yang siap meledak kapan saja.

Anjas ingin berbicara, ingin menjelaskan semuanya, tapi di mana ia harus memulai? Ia bisa merasakan tatapan dingin Neisha setiap kali mereka berbicara tentang masa lalu. Wajahnya mungkin terlihat tenang, tapi Anjas tahu betapa dalamnya luka yang telah ia tinggalkan.

“Neisha...” panggil Anjas perlahan, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan ruangan.

Neisha berbalik, menatap suaminya dengan sorot mata yang sulit diartikan, ada kelelahan, kebingungan, dan sedikit harapan yang masih tersisa.

“Aku tahu ini tidak mudah. Aku tahu aku sudah melakukan kesalahan yang besar,” Anjas melanjutkan, suaranya bergetar. “Tapi aku di sini sekarang. Aku ingin memperbaiki semuanya, tidak hanya untuk kita, tapi juga untuk anak-anak.”


Lihat selengkapnya