Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #9

BAB 9: Masih Ada Keraguan di Hati

Neisha duduk di dapur sambil menyeruput teh hangat yang baru saja ia buat. Pikirannya berkecamuk, tidak bisa tenang sejak Anjas mengatakan bahwa ia akan datang lagi sore ini. 

Perasaan Neisha bercampur aduk, antara ragu, takut, dan harapan yang samar-samar muncul di hatinya. Sudah bertahun-tahun ia hidup tanpa Anjas, merawat Dendi dan Dimas seorang diri. Sekarang, saat Anjas kembali, Neisha tidak tahu harus bagaimana. 

Neisha memandang teh di cangkirnya yang mulai dingin. "Apakah aku bisa memaafkannya? Apakah dia benar-benar sudah berubah?" gumamnya pada diri sendiri, mencoba mencari jawaban di dalam benaknya yang penuh dengan kebingungan. 

Neisha tahu bahwa ia tidak bisa begitu saja melupakan luka lama, tetapi ia juga tidak ingin anak-anaknya tumbuh tanpa sosok ayah. 

Tiba-tiba, suara bel pintu membuyarkan lamunannya. Neisha menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum berjalan menuju pintu depan. 

Saat membuka pintu, Neisha melihat Anjas berdiri di sana dengan senyum canggung di wajahnya. Hatinya bergetar, mengingat masa lalu yang manis sebelum semuanya berubah. 

“Neisha, aku tahu ini tidak mudah untukmu… untuk kita. Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin memperbaiki semuanya,” kata Anjas dengan suara rendah, tetapi penuh keyakinan. 

Neisha hanya mengangguk pelan. “Masuklah,” jawabnya, mencoba tetap tenang meski hatinya masih ragu. 

Anjas melangkah masuk ke dalam rumah, matanya menyapu ruangan yang terasa asing baginya, meskipun pernah menjadi tempat ia dan Neisha membangun mimpi bersama.

 Anjas melihat Dendi yang sedang bermain dengan mainannya di ruang tamu, sementara Dimas duduk di sofa sambil memeluk mainan kesayangannya.

“Dendi, Dimas… ada yang ingin ayah bicarakan,” suara Neisha terdengar lembut, tapi ada getaran halus di dalamnya. 

Dendi menoleh dengan cepat, matanya yang cerah menatap Anjas dengan ragu. “Ayah… benar-benar ayah?” tanyanya pelan, seolah tidak yakin dengan apa yang dilihatnya. 

Dimas, yang baru pertama kali melihat sosok ayahnya, hanya diam sambil memandang Anjas dengan mata besar yang penuh kebingungan. 

Anjas berjongkok di depan anak-anaknya, mencoba tersenyum meskipun hatinya terasa berat. “Iya, ini ayah, Dendi.


Lihat selengkapnya