“Kesungguhan tidak diukur oleh kata-kata, tetapi oleh keteguhan hati dalam menghadapi kenyataan.”
Neisha duduk di tepi jendela, menatap halaman Dream Catcher yang terbuka di pangkuannya. Cahaya pagi yang lembut merembes melalui tirai tipis, seolah memberikan pelukan hangat di tengah kekalutan hatinya. Namun, di balik ketenangan sekejap itu, batinnya bergolak. Pikirannya terbang jauh, tak lagi fokus pada kata-kata dalam buku. Hari ini bukan hari biasa, ini adalah momen penentuan. Ia harus menghadapi Anjas dengan hati yang teguh, bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai ibu yang berjuang demi melindungi anak-anaknya dari luka yang bisa kembali hadir.
Angin pagi menyentuh dedaunan di luar dengan lembut, seperti pesan alam agar ia tetap tabah. Di sudut hatinya, Neisha menyadari bahwa apa pun hasil dari hari ini, hidupnya takkan sama lagi. Akankah Anjas benar-benar berubah? Ataukah bayang-bayang luka lama akan kembali menghantui mereka?
“Apakah aku bisa memaafkan dan melanjutkan hidup? Apakah dia benar-benar akan berubah, atau ini hanya sementara? Aku tidak bisa mempertaruhkan masa depan anak-anakku di atas janji-janji yang rapuh.”
Monolog itu terus bergema di dalam dirinya, menjadi beban yang menekan setiap detik langkahnya.
**
Pukul sembilan pagi, rumah seperti benar-benar hening. Dimas dan Dendi asyik bermain di luar, memberikan kesempatan langka bagi Neisha dan Anjas untuk duduk berdua di ruang tamu. Suasana terasa begitu sepi, hampir seperti waktu terhenti, menanti sesuatu yang mendesak untuk terungkap. Neisha duduk di ujung sofa, jemarinya erat menggenggam cangkir teh yang kini mulai dingin, namun ia tak peduli. Di hadapannya, Anjas duduk dengan canggung, jelas terlihat gelisah. Sesekali mata mereka saling bertemu, namun diam yang menggantung di udara terasa lebih nyaring dan menyakitkan daripada apapun yang mungkin diucapkan.
Anjas menarik napas panjang, lalu memulai dengan suara yang bergetar, “Neisha, aku tahu hari ini adalah hari yang sulit buat kita berdua. Aku tahu kau butuh bukti. Bukan janji. Dan aku di sini untuk memberikan itu.”
Neisha menatapnya tajam, mencoba menembus segala lapisan kebohongan dan janji yang mungkin tersembunyi di balik kata-kata itu. Ia sudah terlalu sering mendengar janji, dan kali ini ia tak ingin dibuai oleh kata-kata tanpa makna. Ia menginginkan lebih.
“Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku bisa mempercayaimu, Anjas?” tanya Neisha, suaranya tenang namun sarat dengan ketegangan. “Selama bertahun-tahun, aku telah hidup tanpa kepastian darimu. Aku telah membesarkan anak-anak sendirian, menghadapi semua pertanyaan dan ketidakpastian. Kau hanya menghilang, dan kini kau kembali seolah-olah tidak pernah ada apa-apa yang terjadi.”
Anjas menghela napas, menundukkan kepala sejenak sebelum menatap kembali ke arah Neisha. “Aku mengerti, Neisha. Aku paham kalau luka itu masih ada. Aku tahu aku telah membuat kesalahan yang besar. Tapi aku kembali karena aku ingin memperbaiki semuanya, bukan hanya untukmu, tapi untuk anak kita.”
“Kembali karena anak kita?” Neisha tersenyum getir, matanya memancarkan kelelahan yang selama ini terpendam. “Kau tahu, selama kau pergi, aku harus menjadi segalanya bagi mereka. Ayah, ibu, pelindung, segalanya. Mereka tidak butuh sosok yang hanya muncul sesekali dan kemudian pergi tanpa jejak.”