Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #11

BAB 11: Sebuah Awal Baru?

Pagi itu, Neisha terbangun lebih awal dari biasanya. Udara dingin dari luar jendela merayap masuk melalui celah-celah kecil, tetapi ia tetap duduk di tepi tempat tidur, memandang ke arah jendela yang tertutup.

 Pikirannya berkecamuk, penuh dengan berbagai perasaan yang campur aduk. Tiga bulan terakhir terasa seperti sebuah mimpi panjang yang belum sepenuhnya ia pahami.

 Neisha memejamkan mata, membiarkan kenangan lama melintas di benaknya. Ia teringat saat-saat pertama bertemu Anjas—betapa bahagianya mereka dulu.

 Tapi setiap kenangan indah itu selalu diikuti oleh bayangan rasa sakit dan pengkhianatan yang pernah ia rasakan. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan semuanya? Dan lebih penting lagi, apakah ia mampu memaafkan?

 Suara ketukan pelan di pintu kamarnya membuat Neisha tersentak dari lamunannya. Dendi muncul di pintu, masih mengenakan piyama, rambutnya berantakan.

 “Bunda, aku laper, pingin sarapan!” kata Dendi dengan suara parau setengah mengantuk.

 Neisha tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “uhh kasihan anak Bunda, sebentar ya, Bunda siapin srapannya.”

 Dendi mengangguk dan berjalan menuju dapur. Neisha menarik napas dalam-dalam sebelum bangkit dari tempat tidur. Ia tahu hari ini akan menjadi hari yang panjang, dan ia harus siap menghadapi apa pun yang terjadi.

 Di meja makan, suasana terasa canggung. Anjas datang lebih awal dari biasanya dan membantu menyiapkan sarapan. Dendi dan Dimas duduk menunggu di meja makan, untuk menikmati makanan mereka. Anjas mencoba mencairkan suasana dengan berbicara tentang rencana akhir pekan mereka.

 “Bagaimana kalau kita pergi piknik akhir pekan ini? Dimas, kamu mau kan?” Anjas bertanya sambil tersenyum.

 Mata Dimas langsung berbinar. “Iya, ayah! Aku mau ke taman yang ada danau itu!”

 Namun, reaksi Dendi berbeda. Ia hanya menatap piringnya, lalu menjawab dengan suara datar, “Terserah.”

 Neisha melirik Dendi sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati, “Kita lihat nanti, ya.”

 Suasana di meja makan terasa tegang. Meskipun Dimas tampak bersemangat, jelas terlihat bahwa Dendi masih merasa asing dengan kehadiran Anjas. Neisha bisa merasakan beban di dadanya semakin berat. Bagaimana ia bisa membuat semua ini berhasil jika Dendi sendiri belum bisa menerima Anjas?

 Setelah sarapan, Neisha dan Anjas mengantar anak-anak ke sekolah. Neisha merasa aneh berada di samping Anjas, terutama karena guru-guru di sekolah mulai menganggap Anjas sebagai bagian dari kehidupan anak-anak lagi. Mereka menerima Anjas dengan tangan terbuka, seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi.

Lihat selengkapnya