"Waktu tidak selalu menyembuhkan luka, tapi ia memberi kita ruang untuk belajar menerima."
Neisha merapikan hijabnya yang agak berantakan sambil melirik ke arah jendela. Di luar, angin pagi yang lembut memainkan dedaunan, seolah mengingatkannya pada bagaimana hidupnya terus berputar dalam alunan yang tak pernah ia kendalikan sepenuhnya. Tiga bulan telah berlalu sejak Anjas kembali dalam kehidupannya, dan setiap detik yang berlalu terasa seperti ujian kesabarannya, ujian pada ketulusan dan keyakinan. Tapi, seperti yang tertulis di buku *Dream Catcher* yang selalu menjadi teman malamnya, waktu bukanlah penyembuh sempurna. Ia hanya memberi ruang bagi kita untuk menerima segala yang telah terjadi, bukan melupakannya.
Neisha duduk di sofa ruang tamu, buku itu terbuka di pangkuannya. "Menerima,"pikirnya, mengulangi kata-kata itu dalam benaknya. Seberapa jauh ia telah menerima kehadiran Anjas kembali? Seberapa banyak ia telah memberikan dirinya untuk percaya bahwa kali ini, mungkin segalanya akan berbeda? Ia mendesah pelan, matanya tertutup sesaat, membiarkan ketenangan singkat menyusup ke dalam hatinya yang masih penuh kebimbangan.
**
Pagi itu, rumah mulai dihidupkan oleh suara tawa kecil dan langkah-langkah riang. Dimas berlarian di ruang tamu, seperti biasa penuh semangat, tak kenal lelah dengan senyuman lebar yang merekah di wajahnya. Sementara itu, Dendi duduk di sudut, diam dan tenggelam dalam pikirannya, menikmati kesunyian seolah menjadi temannya yang paling setia. Sejak Anjas kembali ke dalam hidup mereka, hubungan yang terputus lama itu perlahan mulai terbentuk lagi—meski dengan cara yang sangat berbeda. Dimas, dengan hati yang masih begitu polos dan terbuka, selalu menyambut Anjas dengan suka cita. "Ayah datang!" teriaknya penuh kegembiraan setiap kali Anjas muncul di pintu. Namun, Dendi, yang kini semakin tumbuh remaja dan mulai memahami lebih banyak hal, menyikapi kehadiran sang ayah dengan dingin, menyimpan jarak yang tak mudah ditembus.
Neisha memperhatikan mereka, hatinya terbelah antara rasa syukur karena melihat kebahagiaan Dimas, dan kekhawatiran akan sikap tertutup Dendi. *"Apakah aku telah memberikan cukup waktu untuk mereka mengenal Anjas kembali? Atau justru ini hanya memperpanjang ketidakpastian?" pikir Neisha sambil merapikan meja makan.
Sikap Dendi yang pendiam selalu membuat Neisha resah. Di usianya yang beranjak remaja, ia sangat membutuhkan sosok ayah dalam hidupnya, namun sayangnya, bayang-bayang Anjas sudah terlalu lama menghilang dari kehidupan mereka. Dendi telah membangun tembok tinggi di sekeliling hatinya, begitu kokoh hingga setiap usaha Anjas untuk mendekat terasa sia-sia. Neisha tahu, luka di hati putra sulungnya itu terlalu dalam, dan ia sadar, permintaan maaf saja takkan cukup untuk menyembuhkannya. Mungkin, luka itu akan terus ada, menggores hatinya seperti kenangan pahit yang sulit terhapus.
**
Anjas tiba lebih awal hari itu. Ia berdiri di depan pintu, dengan senyuman ragu namun penuh harapan. Neisha membuka pintu perlahan, menatap pria yang pernah meninggalkan begitu banyak luka dalam hidupnya. Namun, di balik tatapan itu, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ada sedikit penerimaan, sedikit keinginan untuk memberi kesempatan.
"Selamat pagi," sapa Anjas pelan.
"Selamat pagi," balas Neisha, suaranya lembut namun tegas. Ia membuka pintu lebih lebar, memberi isyarat agar Anjas masuk.
Ketika Anjas melangkah masuk, suara langkah kaki Dimas yang berlarian terdengar di seluruh rumah. "Ayah! Ayah!" seru Dimas sambil memeluk kaki Anjas dengan penuh keceriaan. Senyuman di wajah Anjas seketika merekah, dan ia meraih tubuh kecil Dimas, mengangkatnya dengan penuh kasih sayang. "Hai, Dimas! Apa kabar anak ayah hari ini?"
Dimas tertawa riang, sementara di sudut lain, Dendi hanya mengangguk singkat, lalu kembali ke buku yang sedang dibacanya di ruang keluarga. Anjas memperhatikan Dendi sejenak, mencoba mencari jalan masuk untuk memulai percakapan. Namun, seperti biasanya, Dendi hanya menutup diri, membuat jarak yang tak mudah ditembus.