Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #12

Bab 12: Ajakan Ke Tanah Suci

Pagi ini Neisha terbangun lebih awal, Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Neisha sudah duduk di meja makan, menyiapkan sarapan untuk Dendi dan Dimas. Suasana rumah pagi itu terasa tenang, namun di balik ketenangan itu, ada ketegangan yang tidak terlihat.

 Sejak Anjas kembali dan sekarang hampir tiap haroi datang ke rumah, rutinitas pagi Neisha berubah. Meskipun Anjas telah berusaha lebih keras untuk terlibat dalam kehidupan sehari-hari mereka, Neisha masih merasakan adanya jarak emosional yang membatasi mereka.

 Neisha menuangkan susu ke dalam gelas sambil memperhatikan Anjas yang sedang membungkus roti untuk bekal Dendi.

 Anjas tampak lebih banyak tersenyum, lebih sering mencoba untuk terlibat dalam hal-hal kecil seperti ini. Namun, Neisha tahu, meskipun sikap Anjas berubah, perasaan sakit yang ia alami dulu tidak semudah itu hilang.

 Saat Neisha hendak memanggil Dendi dan Dimas untuk sarapan, Anjas tiba-tiba berdiri di sampingnya, menawarkan bantuan.

 “Apa ada yang bisa aku bantu, Neisha?” tanya Anjas dengan suara lembut.

 Neisha menoleh dan tersenyum tipis. “Tidak, terima kasih. Aku bisa mengurus semuanya.”

 Dendi muncul dari kamar, berjalan dengan langkah malas menuju meja makan. Tanpa sepatah kata, ia mengambil piring dan membawa makanannya kembali ke kamar.

 “Bun, aku mau sarapan di kamar ya,” kata Dendi tanpa menunggu persetujuan Niesha.

 Neisha menghela napas, matanya mengikuti Dendi yang menghilang di balik pintu kamarnya. Ia tahu Dendi masih sulit menerima kehadiran Anjas di rumah ini, meskipun sudah beberapa bulan berlalu sejak Anjas kembali.

 Setelah mengantar anak-anak ke sekolah, Neisha dan Anjas duduk di ruang tamu. Anjas memandang Neisha dengan tatapan yang penuh harap, seolah-olah ingin mengutarakan sesuatu yang penting. Neisha bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Anjas.

 “Neisha,” kata Anjas akhirnya, suaranya sedikit bergetar.

 “Aku sudah memikirkan ini cukup lama. Aku tahu kita sudah melalui banyak hal, dan aku ingin membuktikan kalau aku serius untuk memperbaiki hubungan kita.”

 Neisha menatap Anjas, menunggu kata-kata selanjutnya.

 “Aku ingin kita pergi umrah bersama,” lanjut Anjas dengan nada yang lebih mantap.

 “Aku pikir, di sana kita bisa menemukan kedamaian, memperbaiki segala luka, dan memulai babak baru dalam hidup kita.”

 Neisha terdiam. Kata-kata Anjas bergema di pikirannya. Umrah? Itu bukan keputusan yang mudah. Bukan hanya karena butuh waktu dan biaya, tapi juga karena perjalanan spiritual itu membawa makna yang dalam, terutama dalam kondisi hubungan mereka yang masih rapuh.

 “Aku tidak tahu, Anjas,” jawab Neisha akhirnya, suaranya penuh keraguan.

Lihat selengkapnya