"Memaafkan orang lain itu sulit, tapi lebih sulit lagi memaafkan diri sendiri karena membiarkan diri terluka kembali."
Neisha duduk di sudut ruang tamu, matanya terpaku pada halaman buku 'Dream Catcher' kalimat terakhir yang baru saja ia baca. Kata-kata dalam buku itu seperti melantunkan melodi yang menggetarkan jiwa, mencengkeram hatinya dengan kekuatan tak kasat mata. "Memaafkan diri sendiri..." gumamnya pelan, suaranya seolah tenggelam dalam lautan pikiran. Ia menutup buku itu perlahan, jemarinya meluncur lembut di atas permukaannya yang halus, seolah berusaha menyerap ketenangan dari setiap halaman yang telah dilalui. Namun, ketenangan itu terasa begitu jauh, seakan melarikan diri dari jangkauannya.
Di luar, suara riuh tawa Dimas dan langkah-langkah kecilnya bergema, berpadu harmonis dengan kicauan burung pagi. Neisha mengulas senyum tipis mendengar kebahagiaan itu, tapi senyumnya menyimpan sesuatu yang lebih dalam, sebuah beban yang tak terucapkan. Setiap tawa anak-anaknya adalah pengingat akan kebahagiaan yang rapuh, kebahagiaan yang bisa sirna dalam sekejap. Kekhawatiran mulai merayap masuk ke relung hatinya, seperti kabut pagi yang mengaburkan pandangan, menutupi jalan menuju keputusan yang jelas. Ia merasakan keraguan itu membayangi, menciptakan bayang-bayang gelap di balik senyumnya.
Anjas masih berada di luar, duduk di halaman belakang dengan tatapan penuh harap, mengawasi anak-anak mereka yang bermain. Ia berusaha mendekati Dendi, sungguh-sungguh berjuang untuk menghapus jarak yang menganga di antara mereka, namun semua usaha itu seakan sia-sia. Dendi tetap terdiam, terkungkung dalam pikirannya, seolah ada tembok tebal yang dibangunnya untuk melindungi diri dari kekecewaan yang menghantuinya.
Neisha merasakan perubahan dalam diri Anjas. Setiap gerakan dan setiap kata yang keluar dari mulutnya dipenuhi dengan penyesalan yang dalam. Namun, saat ia menatap mata Anjas, luka-luka lama itu seolah kembali menerjang, membuat hatinya tercekat. Luka yang ia kira sudah pulih, ternyata hanya terpendam di balik lapisan waktu. Kini, saat Anjas kembali muncul, luka itu kembali terbuka, menganga dan berdarah seolah baru pertama kali dirasakan.
**
Suatu malam yang tenang, ketika anak-anak terlelap dalam mimpi indah mereka, Anjas mendekati Neisha yang duduk di teras belakang, menatap langit malam yang bertabur bintang. Ia mengambil tempat di sampingnya, sedekat mungkin untuk merasakan kehangatan kehadirannya, meski tetap menjaga jarak yang menghormati dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka. Hening menyelimuti suasana, seolah dunia di sekitar mereka menghilang, hanya ada mereka dan keindahan malam yang mengundang harapan dan kerinduan.
“Neisha…” Anjas memulai dengan suara pelan, ragu-ragu seperti biasanya ketika mereka berbicara.
Neisha hanya menatap ke depan, tak membalas panggilan itu. Angin malam berhembus pelan, membawa dingin yang menyelusup ke dalam hati. Di tengah kesunyian itu, perasaan tak menentu membekukan suasana, seperti sebuah badai yang siap menerjang, namun belum tiba.
“Aku tahu aku sudah banyak salah,” lanjut Anjas, suaranya terdengar bergetar, “Aku tahu mungkin kau tak akan pernah sepenuhnya bisa memaafkanku… tapi aku ingin kau tahu, setiap hari aku berusaha. Aku berusaha untuk jadi lebih baik. Untukmu, untuk Dendi, untuk Dimas.”
Neisha menghela napas panjang, matanya terpejam sejenak. "Kata-kata..." pikirnya. "Kata-kata yang pernah terdengar begitu manis, begitu penuh janji, kini terasa hampa. Apakah aku masih bisa mempercayainya?"
“Aku tak butuh janji, Anjas,” balas Neisha, akhirnya membuka suara. “Aku tak butuh kata-kata. Aku butuh waktu… dan aku butuh kejujuran. Bukan hanya darimu, tapi dari diriku sendiri.”
Anjas terdiam, merasakan dinginnya jawaban Neisha, namun ia tak beranjak. Ada tekad di wajahnya, tekad yang tak ia tunjukkan ketika ia pertama kali kembali.