"Kenangan adalah jendela yang selalu terbuka, membawa kita kembali pada masa-masa yang ingin kita lupakan."
Neisha menutup buku Dream Catcher dengan tangan bergetar, seolah setiap kata menggetarkan relung hatinya. Saat persiapan umroh semakin mendekat, pikirannya melesat liar, melampaui waktu dan ruang, membangkitkan kembali kenangan yang sudah lama ia usahakan untuk lupakan. Gani. Nama itu berbisik lembut di dalam jiwanya, tetapi rasanya seperti pisau yang menyayat.
Setiap kali Neisha mencoba memusatkan pikirannya pada perjalanan yang akan datang bersama Anjas, bayangan Gani selalu hadir. Seolah-olah, kenangan tentang Gani bukan hanya bagian dari masa lalunya, tetapi sesuatu yang hidup, bernafas, mengisi ruang di dalam dirinya yang tidak pernah sepenuhnya hilang.
Gani, suami pertamanya, adalah sosok yang selalu penuh kasih, perhatian, dan kesabaran. Ia adalah cerminan dari segala yang baik dalam hidup Neisha, dan kepergiannya karena kanker lima tahun lalu meninggalkan luka yang dalam, luka yang mungkin tidak pernah benar-benar sembuh. Di malam-malam sunyi setelah kepergian Gani, Neisha sering merasa seolah-olah ia sedang melayang, tanpa arah, tanpa tujuan. Dan ketika Anjas datang, menawarkan cinta yang berbeda, ia mencoba membuka hatinya. Tetapi cinta itu, meski hangat di awal, ternyata penuh dengan luka lain yang tak ia duga.
Kini, di ambang perjalanan spiritual ini, Neisha merasa tersesat. Bagaimana mungkin ia bisa membuka hatinya kembali untuk Anjas, seseorang yang telah melukainya begitu dalam? Sementara bayangan Gani masih hidup, masih bernafas dalam setiap sudut hatinya?
**
Malam itu, di antara tumpukan pakaian dan persiapan umroh yang tersebar di kamar, Neisha duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya kembali ke masa-masa bersama Gani. Ia ingat betapa lembut tangan Gani saat menggenggam tangannya, bagaimana suara tawanya selalu bisa menenangkan badai di dalam hatinya. Tidak ada hari yang berlalu tanpa cinta dari Gani, meskipun saat-saat terakhir hidupnya dipenuhi dengan rasa sakit dan ketidakpastian.
Sebuah ingatan datang tanpa diundang. Malam terakhir mereka bersama, saat Gani terlalu lemah untuk berbicara, tetapi masih bisa memandanginya dengan mata penuh kasih. "Jaga dirimu baik-baik, Neisha," ucapnya dengan suara serak. "Aku selalu ada bersamamu, di dalam setiap langkahmu."
Kata-kata itu seperti janji yang terus terulang dalam benaknya, seakan-akan Gani belum pernah benar-benar pergi. Namun kini, dengan Anjas di sampingnya, Neisha merasa bersalah. Apakah ia mengkhianati Gani dengan mencoba mencintai orang lain? Apakah ia berhak untuk melanjutkan hidup dan mencari kebahagiaan lain, meskipun Gani telah meninggalkannya?
Neisha menutup matanya, menarik napas panjang, dan mencoba meredakan gejolak di dalam hatinya. Tapi bayangan Gani dan Anjas silih berganti dalam pikirannya, membentuk konflik yang semakin membingungkan. "Bagaimana mungkin aku mencintai dua orang yang begitu berbeda? Bagaimana mungkin aku bisa merelakan Gani dan sekaligus memberi Anjas kesempatan kedua?"
**
Keesokan paginya, saat matahari mulai muncul malu-malu dari balik awan, Neisha terbangun dengan hati yang penuh keraguan. Di meja samping tempat tidurnya, buku Dream Catcher masih terbuka, seakan-akan menunggu untuk dibaca kembali, siap memberikan jawaban yang ia cari. Namun, kali ini, ia merasa belum siap menghadapi apa yang tertulis di dalamnya—seolah-olah kata-kata itu terlalu dekat dengan realita hatinya yang penuh rasa.
Ketika Neisha melangkah menuju dapur, ia melihat Anjas duduk di meja makan, meracik kopi untuk dirinya sendiri. Wajahnya tampak lelah, tetapi ada tekad dalam tatapannya yang tak bisa diabaikan. Selama beberapa hari terakhir, Anjas berusaha menunjukkan perhatian, meski Neisha tahu bahwa di balik semua itu tersimpan rasa takut yang mendalam. Takut kehilangan kesempatan terakhir untuk memperbaiki hubungan mereka, sebuah harapan yang menggantung di antara mereka seperti kabut pagi yang enggan lenyap.