Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #14

Bab 14: Jalan Menuju Pengampunan

Niesha terbangun lebih awal dari biasanya pagi itu. Cahaya matahari yang lembut menyusup melalui tirai tipis, menciptakan bayangan yang menari di dinding kamar tidurnya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya dari kegelisahan yang sudah menggelayuti hatinya sejak semalam. Perjalanan ini seharusnya menjadi momen yang dinantikan, tapi mengapa perasaan berat justru memenuhi pikirannya?

Di luar kamar, aroma nasi goreng yang sedang dimasak menguar dari dapur, memenuhi rumah dengan wangi yang menenangkan. Niesha mendapati dirinya tersenyum tipis, menyadari bahwa Dendi dan Dimas sudah bangun dan sedang menyiapkan sarapan bersama paman dan bibinya di dapur. 

Ia berjalan perlahan ke dapur, ingin membantu, tetapi saat melihat Dendi yang begitu fokus membantu bibinya memasak, ia memilih untuk mengamati dari jauh. Dimas, anak bungsunya yang baru berusia tujuh tahun, duduk di meja makan sambil memain-mainkan sendoknya. Ketika Niesha masuk ke dapur, Dimas langsung berlari ke arahnya, memeluknya erat.

“Bunda, kenapa harus pergi? Dimas nggak mau ditinggal,” kata Dimas dengan suara kecil, tapi penuh penekanan.

Niesha mengusap lembut rambut anaknya. “Bunda cuma pergi sebentar, sayang. Nanti Dimas bisa cerita banyak hal sama Bunda begitu Bunda pulang.”

“Tapi tetap saja, Dimas nggak suka,” Dimas memeluk lebih erat, seakan takut Niesha akan menghilang begitu saja.

Dendi meletakkan piring berisi nasi goreng di atas meja. “Dimas, nggak usah khawatir. Kita akan baik-baik saja sama Paman dan Bibi. Lagipula, Bunda pergi untuk berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Itu kan baik?”

Dimas mendongak, menatap kakaknya dengan ekspresi ragu. “Tapi Dimas tetap nggak mau ditinggal sama bunda.”

Niesha tersenyum, berlutut agar sejajar dengan Dimas. “Bunda ngerti, sayang. Tapi percayalah, Bunda akan selalu hubungi Dimas, meski Bunda tidak di sini secara fisik. Bunda berjanji akan segera pulang.”

Dimas tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya mengangguk pelan. Niesha memeluknya erat, merasakan betapa kecil tubuh anaknya di pelukannya. Rasa rindu yang akan datang sudah bisa ia rasakan, meski baru saja memulai perjalanan.

Setelah sarapan bersama yang dipenuhi dengan obrolan ringan dan sesekali tawa, mereka semua bersiap untuk pergi ke bandara. Anjas, yang memang masih berstatus suami Niesha, sudah menunggu di depan rumah dengan mobil yang siap membawa mereka. Niesha dapat melihat ada keraguan di mata Anjas ketika ia membuka pintu mobil untuknya. Keraguan yang sama yang sering muncul setiap kali mereka berbicara tentang masa lalu mereka.

Di dalam mobil, suasana menjadi hening. Hanya suara mesin yang terdengar, menemani pikiran-pikiran yang berlarian di kepala Niesha. Ia memandang keluar jendela, mencoba mengalihkan pikirannya, tetapi bayangan masa lalu terus menghantui. Tujuh tahun yang lalu, saat Anjas memutuskan untuk meninggalkannya, adalah momen yang paling sulit dalam hidupnya. Saat itu, ia harus mengurus Dendi yang masih kecil dan mengandung Dimas yang ditanggunganya sendirian. Rasanya seperti dunia runtuh, tapi Niesha menemukan kekuatan dalam dirinya yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Namun, meskipun ia telah melalui semua itu dan menjadi lebih kuat, luka dari masa lalu tetap ada, mengakar dalam hati. Anjas telah kembali ke dalam hidupnya, dan meskipun telah mencoba untuk memperbaiki hubungan, ada bagian dari diri Niesha yang masih terluka dan belum benar-benar memaafkan.

Lihat selengkapnya