Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #16

Bab 16: Ketenangan di Antara Kenangan

"Dan ingatlah, jika kamu bersyukur, niscaya Kami akan menambah nikmat kepada kalian; dan jika kalian ingkar, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Q.S. Ibrahim: 7)

Neisha duduk di sudut ruangan, seperti malam-malam sebelumnya, dengan Al-Qur'an di tangan. Jemarinya menyentuh lembut halaman-halaman suci itu, seolah-olah dari setiap ayatnya akan terpancar kekuatan yang menenangkan. Ia membuka halaman pertama, tetapi matanya terhenti pada ayat yang mengingatkannya akan pentingnya bersyukur. "Bersyukur...," gumamnya pelan, mengingatkan dirinya akan segala yang telah dilewati. Ia menyadari betapa pentingnya mengingat semua nikmat yang telah diberikan-Nya.

Di samping Al-Qur'an, buku Dream Catcher terletak terbuka, dan Neisha menyadari bahwa kata-kata dalam buku itu melengkapi keraguan yang mengisi pikirannya. "Setiap langkah menuju tujuan bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan jiwa yang penuh refleksi."

Perjalanan ini bukan hanya tentang jarak yang ditempuh, tetapi tentang mencari dan menemukan diri yang sebenarnya.

**

Perjalanan darat dari Jeddah menuju Madinah terasa begitu panjang dan sunyi, seolah waktu melambat di setiap detiknya. Di dalam bus yang mengangkut rombongan jemaah dari Indonesia, Neisha duduk memandang kosong keluar jendela. Padang pasir yang terbentang luas, tak berujung, hanya menyisakan perasaan hampa di hatinya. Angin panas dari luar menyeruak, menyentuh kaca jendela yang kini tampak suram, tetapi di dalam bus, keheningan yang pekat mengiringi setiap putaran roda, hanya sesekali terdengar gemerisik mesin yang terasa asing di telinga. 

Di sampingnya, Anjas terdiam, tenggelam dalam dunianya sendiri, matanya terpaku pada jalan yang terasa tak berujung. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, namun kesunyian di antara mereka berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang tak pernah terlontar.

Pikiran Neisha mulai terbang, menembus ruang dan waktu, menuju kenangan yang tak kunjung pudar. Bayangan Gani, suaminya, mengisi seluruh benaknya. “Andai saja Gani masih di sini...,” gumam batinnya, penuh kerinduan dan penyesalan yang tak terkatakan. “Bagaimana jika takdir tak merenggutnya dariku? Apakah aku akan berada di tempat ini, di tengah keheningan padang pasir yang asing ini, mencari ketenangan yang tak pernah bisa kuraih?” Perasaan yang menyelimutinya begitu mendalam, seakan setiap butir pasir yang ia pandang membawa ingatan pada cinta yang pernah menjadi pusat hidupnya. Neisha menahan napas, merasakan perih yang terbungkus rapat di hatinya.

Ia merasakan hatinya seakan terbagi dua—sebagian masih terikat pada masa lalu, sementara sebagian lagi ingin bergerak maju. Perjalanan menuju Tanah Suci ini, bagi Neisha, bukan hanya perjalanan fisik, tetapi perjalanan untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang selama ini menghantuinya.

**

Di tengah perjalanan, Anjas akhirnya berbicara, suaranya pelan namun penuh dengan ketegangan yang menahan.

"Neisha, aku tahu... aku tahu bahwa aku tidak pernah bisa memperbaiki apa yang telah rusak," katanya, tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan di luar. "Tapi, aku ingin kau tahu bahwa aku di sini untuk mencoba. Setidaknya, untuk mencoba mendapatkan pengampunanmu."

Lihat selengkapnya