Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #17

Bab 17: Refleksi di Masjid Nabawi

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat..." QS. Al-Baqarah: 186

Neisha duduk di tepi ranjang hotel dengan hati yang bergetar, jemarinya lembut menyentuh Al-Qur'an yang terbuka di pangkuannya. Ayat-ayat suci di hadapannya seakan berbisik lembut, menelusup ke dalam setiap sudut hatinya yang rapuh. "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat," ia membacanya perlahan, seperti sedang berbicara langsung dengan Sang Pencipta. Pesan itu tak hanya terdengar di telinga, tetapi menggema dalam jiwanya—sebuah pengingat tentang kasih sayang Allah yang tak pernah meninggalkannya, meski ia sering tersesat di antara keraguan dan luka yang menggores.

Air mata mengalir perlahan dari sudut matanya yang terpejam, membasahi pipinya tanpa suara. Neisha menutup Al-Qur'an dengan hati-hati, lalu menoleh pada buku Dream Catcher yang tergeletak di sampingnya. Di antara dua buku ini, ia bagaikan kapal yang terombang-ambing di lautan gelisah—antara kata-kata ilahi yang menuntunnya menuju ketenangan dan pasrah kepada Allah, dan kata-kata manusia yang membuatnya merenungi mimpi-mimpi serta kenangan yang masih menghantui. "Aku dekat, namun aku juga jauh," hatinya bergumam dengan penuh kebingungan. "Mana yang harus kupegang? Apakah aku masih harus berharap pada bayangan masa lalu, atau menyerahkan segalanya kepada-Nya?"

Neisha menarik napas panjang, berusaha meresapi kedamaian yang baru saja ia dapatkan dari ayat-ayat suci itu. Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang tetap mengganggu—rindu yang mendalam akan masa lalu, yang terus menyelinap dan tak bisa ia abaikan sepenuhnya. Rasa itu mengombang-ambingkan hatinya, membuatnya bertanya-tanya, adakah tempat bagi mimpi dan harapan di antara ketundukan pada kehendak Tuhan?

**

Hari itu, setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan, Neisha akhirnya tiba di Madinah bersama Anjas dan rombongannya. Saat matanya menangkap kemegahan Masjid Nabawi yang menjulang di hadapannya, jantung Neisha berdegup kencang. Ada getaran halus yang menyusup ke relung hatinya, seolah keagungan masjid itu berbicara langsung padanya, memanggil dengan kelembutan yang tak terkatakan. Namun, di balik panggilan suci itu, bayang-bayang masa lalu mulai menyelimuti pikirannya.

Ketika langkah Neisha menjejak di Raudhah, tempat yang diyakini dipenuhi keberkahan bagi mereka yang berdoa, hatinya seakan terhanyut dalam gelombang emosi yang tak terbendung. Matanya memancarkan harapan, namun jauh di dalam hatinya, ia merasa terluka. Bibirnya bergetar, perlahan ia merangkai doa dalam keheningan yang penuh harap. "Ya Allah, jika Engkau mendengar bisikan hatiku yang penuh kesedihan ini, berikanlah aku pilihan. Aku ingin hidup tenang bersama Anjas, suamiku saat ini. Tapi mengapa bayang Gani, kerinduan padanya, selalu hadir dalam setiap doa yang kupanjatkan kepada-Mu?" lirihnya, penuh kerinduan. 

"Ya Allah, mengapa di saat hatiku ingin menegaskan untuk memaafkan dan menerima Anjas kembali, kerinduanku pada Gani semakin bertambah... tolong berikan hamba petunjuk untuk langkah yang harus hamba ambil..." 

Namun, di setiap lantunan doa yang ia panjatkan, bukannya ketenangan yang datang, melainkan kerinduan yang kian dalam, menusuk hati terhadap almarhum Gani. Kehilangan Gani, suami yang telah berpulang bertahun-tahun lalu, masih terasa seperti beban yang tak mampu ia lepaskan. Setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah menjadi upaya untuk meraih kembali sosok yang telah lama pergi, namun begitu dekat di hati.

Doanya bukan sekadar permintaan, melainkan jeritan batin seorang wanita yang terperangkap antara masa lalu yang belum bisa ia lepaskan, dan masa kini yang harus ia terima. Setiap bisikan doanya adalah perjuangan, antara cinta yang telah hilang dan cinta yang ada di hadapannya, namun terasa asing.

Anjas, yang berada di sampingnya, khusyuk dalam doanya sendiri. Namun sesekali ia menoleh, ingin memastikan bahwa Neisha baik-baik saja. Pandangan lembutnya penuh perhatian, tapi Neisha terlalu tenggelam dalam pikirannya. Tangan Neisha erat menggenggam tasbih, tapi hatinya seolah terkunci pada kenangan Gani, yang terus hadir di tiap hembusan nafasnya.

**

Setelah usai melantunkan doa, mereka melangkah keluar dari Raudhah, lalu mencari tempat di salah satu sudut masjid yang sunyi. Hening menyelimuti mereka sejenak, hingga Anjas dengan lembut memecah kesunyian, "Neisha, aku bisa merasakan betapa berat bagimu berada di sini. Tempat yang seharusnya membawa ketenangan malah membangkitkan kenangan-kenangan yang menyakitkan."

Mata Neisha mulai berkabut, ia menunduk dalam diam. Anjas benar, seharusnya Masjid Nabawi menjadi tempat di mana hatinya menemukan kedamaian, tetapi baginya, tempat ini justru mengungkap luka-luka yang selama ini ia coba sembunyikan rapat-rapat. "Aku merasa tersesat, Anjas," bisiknya, suaranya nyaris tenggelam dalam emosi yang tertahan. "Aku ingin merasakan kedamaian di sini, tapi setiap kali aku berdoa, bayangan Gani selalu hadir. Bagaimana mungkin aku bisa melepaskannya jika kerinduanku padanya begitu dalam?"

Lihat selengkapnya