"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku." (QS. Al-Baqarah: 186)
Neisha memejamkan mata sejenak, memutar lembut halaman Al-Qur'an yang terbuka di hadapannya. Di sanalah ia menemukan ayat itu lagi, ayat yang sudah ia baca berkali-kali, namun tetap terasa asing. Sungguh, ia tahu bahwa Allah Maha Dekat. Ia tahu bahwa segala permohonan akan didengar. Namun, mengapa hatinya masih penuh dengan keraguan yang menusuk-nusuk? Di manakah letak jawabannya, di tengah segala doa yang terus ia panjatkan di Tanah Suci ini?
Neisha membuka kembali buku Dream Catcher yang tergeletak di samping Al-Qur'an, seperti mencari konfirmasi dari kedua bacaan itu atas apa yang ia rasakan. Buku itu bercerita tentang mimpi-mimpi yang dikejar, namun juga tentang ketidakpastian hidup. Ia merasa bahwa hidupnya saat ini adalah perpaduan dari dua realitas tersebut: mimpi-mimpi yang tak lagi ia mengerti dan ketidakpastian yang menyelimuti hatinya setiap kali ia memikirkan Anjas.
**
Hari ketiga di Madinah, rombongan mereka bergerak perlahan dari hotel, bersiap memulai city tour. Neisha melangkah bersama mereka, namun pikirannya terasa jauh tertinggal. Seolah ada sesuatu yang menahannya, bukan fisiknya yang lelah, tapi hatinya yang dipenuhi dengan keraguan dan pertanyaan tanpa jawaban. Setiap langkah terasa begitu berat, bukan karena jalan yang menanjak, melainkan karena beban di dalam hatinya.
Saat mereka tiba di Masjid Ijabah, tempat di mana Rasulullah SAW pernah mendapatkan jawaban dari doa-doanya, Neisha berdiri di tengah keheningan. Udara Madinah yang sejuk membelai wajahnya, namun di dalam dadanya, ada badai kecil yang tak kunjung reda. Di sampingnya, Anjas berdiri, tak jauh, namun rasanya seperti ada jurang tak kasat mata yang memisahkan mereka. Jarak itu bukan fisik, tapi emosi yang tersimpan rapat di dalam hati Neisha.
Neisha memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian di tempat suci ini. "Ya Allah, jika memang ada jawabanku di sini, bukalah hatiku. Aku terlalu takut pada kenyataan yang mungkin Engkau tunjukkan. Aku takut pada perasaan yang tak kumengerti. Tunjukkan jalanku, ya Allah," pintanya dalam hati. Namun, setelah doa itu terucap, Neisha merasakan kehampaan yang sama, seperti yang ia rasakan berulang kali.
Anjas tetap di sampingnya, dalam diam yang terasa begitu panjang. Tatapannya penuh harap, seakan menunggu sesuatu yang tak pernah ia ucapkan. Neisha menyadari keheningan itu, tapi batinnya masih dikepung oleh bayangan Gani—seseorang yang begitu ia cintai, namun kini telah pergi. "Apakah salah jika aku masih mencintai seseorang yang sudah tiada? Apakah salah jika aku belum bisa membuka hati untuk yang baru?" pikirnya, sementara rasa bersalah dan kebingungan terus menghantui.
Di tengah keramaian rombongan, Neisha merasa begitu sendirian. Jiwanya terombang-ambing antara masa lalu yang masih begitu nyata dan masa depan yang tak pasti. Jiwanya tak hanya berada di Madinah, tapi juga terjebak dalam kenangan bersama Gani, dan ketakutannya terhadap perasaan yang berusaha dia tumbuhkan kembali untuk Anjas.
**
Dalam perjalanan menuju Masjid Quba, masjid pertama yang dibangun Rasulullah SAW, hati Neisha kembali diselimuti oleh kenangan-kenangan yang begitu dalam tentang Gani. Setiap langkah yang ia ambil seakan membawanya lebih dekat ke masa lalu. "Gani selalu tenang," batinnya, merasakan kembali bagaimana keberadaan Gani mampu membuatnya merasa aman di tengah badai kehidupan. Saat jemarinya menyentuh butiran tasbih, bayangan tangan Gani yang dulu selalu mengenggam tangannya dengan penuh kehangatan terasa begitu hidup, seolah jarak waktu di antara mereka tak pernah ada.
Namun, di sampingnya, ada Anjas. Kehadirannya tak serupa dengan Gani, tapi ada sesuatu yang Neisha rasakan dari Anjas yang menyentuh lembut dan tulus dari dirinya. Anjas bukanlah seseorang yang berusaha menggantikan Gani di hatinya, melainkan seseorang yang sedang berusaha memperbaiki kesalahannya di masa lalu kerena meninggalkan dirinya dan anak-anak. Dalam perjalanan umrah ini, dia sabar menunggu, menawarkan kekuatan yang berbeda—kehangatan yang tak mendesak, namun tulus, berusaha membimbing Neisha melewati gelombang kesedihan.
Tapi Neisha masih belum yakin apakah ia siap membuka hatinya kembali untuk Anjas. "Mengapa cinta harus begitu membingungkan?" pikirnya dalam hati yang bergejolak. "Mengapa, meski berada di tempat yang suci seperti ini, aku masih merasa tersesat dalam perasaan yang tak menentu?"
Anjas tak berkata apa-apa, tapi tatapannya penuh pengertian. Ia melihat keresahan dalam diri Neisha, namun tak pernah berusaha memaksakan kehadirannya. "Aku tahu, dia butuh waktu," Anjas membatin, dengan harapan yang terselip di sudut hatinya. Ia sadar bahwa cinta yang ia bawa tidak pernah dimaksudkan untuk menggantikan Gani, tapi untuk melengkapi bagian dari hidup Neisha yang mungkin sudah siap untuk babak baru. "Aku akan tetap di sini," gumamnya, dalam sunyi yang penuh harap.