Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #19

Bab 19: Tawaf dan Kerinduan

"Ketika kita dekat dengan Tuhan, perasaan yang paling dalam pun dapat terungkap."

Buku Dream Catcher tergeletak di meja kecil di samping Neisha. Ia menatap sampulnya yang hampir lusuh dengan penuh perasaan. Setiap kata dalam buku itu bagaikan bisikan, sebuah pengingat tentang mimpi yang menggantung di antara kenyataan dan harapan. Namun, di malam yang sunyi ini, buku itu tak lagi mengundang keinginannya untuk mencari jawaban. Ia merasa setiap halaman seperti penuntun bagi hati yang terus melangkah, meski belum tahu ke mana arah yang pasti.

Neisha menghela napas panjang, menutup matanya sejenak. Ketika ia membukanya kembali, Al-Qur'an terbuka di hadapannya. Ayat-ayat yang pernah ia baca berulang kali seakan memanggilnya untuk kembali merenung. “Ya Allah, mengapa hati ini begitu rumit? Mengapa cinta yang tulus untuk Gani tak bisa hilang, meski aku tahu dia telah tiada? Dan mengapa pula hatiku mulai tersentuh oleh Anjas, yang selalu ada di sisiku sekarang?”

Ia membalik halaman Al-Qur'an pelan, mengulangi ayat yang tadi ia baca. "Dan sesungguhnya Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (QS. Qaf: 16).

Neisha memejamkan mata, mencoba menenangkan gejolak hatinya. Di tempat suci ini, ia merasa lebih dekat dengan Tuhan, tetapi juga lebih dekat dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung dalam pikirannya.

Malam itu, menjelang esok yang penuh harapan, Neisha terhanyut dalam doanya yang panjang. Ia berharap, di antara tawaf dan doa, akan datang jawaban yang bisa menenangkan hatinya yang terus bergetar dalam kerinduan.

**

Tawaf pertama Neisha di Tanah Suci akhirnya tiba, momen yang selama ini ia nantikan dengan hati penuh harap. Dikelilingi oleh lautan manusia yang dipenuhi doa dan harapan, ia berdiri dengan mata yang menatap cakrawala. Matahari belum sepenuhnya bangkit, hanya sedikit cahaya yang memancar lembut di balik langit kelabu. Seolah Tuhan sedang melukiskan pagi yang indah, menciptakan pemandangan yang tak akan pernah terlupakan.

Neisha melangkah dengan rombongan, namun yang terasa paling nyata di sampingnya adalah kehadiran Anjas. Sekilas ia melirik lelaki itu—tenang, penuh kesabaran, seperti bayangan yang selalu ada meskipun tak pernah mendesak. Anjas tidak berkata banyak, tapi kehadirannya begitu menghangatkan, seakan ia mengerti apa yang bergejolak di hati Neisha tanpa harus bertanya.

Setiap langkah Neisha dalam tawaf terasa semakin berat. Bukan karena kerumunan atau panas yang mulai terasa, melainkan beban di hatinya. Putaran demi putaran mengingatkannya pada jejak-jejak masa lalu—masa di mana ia dan Gani masih bersama. Setiap langkah seperti menuntunnya kembali ke kenangan yang sudah berlalu, ke senyum Gani yang meneduhkan dan suaranya yang masih terngiang dalam benak Neisha, meskipun sosoknya kini hanya bayangan.

Saat Neisha menyelesaikan putaran pertama, perasaan aneh mulai muncul. Di antara ribuan orang yang berputar mengelilingi Ka'bah, Neisha merasa ada sepasang mata yang memperhatikannya. Sosok itu—sungguh menyerupai Gani. "Apakah mungkin?" bisiknya dalam hati, matanya mencari-cari sosok yang tak mungkin ada. Ia tahu Gani sudah pergi, tapi dalam lautan manusia ini, Neisha merasakan kehadirannya begitu nyata, seakan Gani berdiri di antara mereka, mengawasi setiap langkah yang ia ambil.

Lihat selengkapnya