Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #19

Bab 19 : Mimpi

Malam itu, suasana di kamar hotel Makkah begitu sunyi. Di luar, suara kendaraan samar-samar terdengar, tapi tak mampu mengusir kerisauan dalam hati Niesha. Anjas sedang membereskan koper di sudut ruangan, bersiap untuk keberangkatan esok hari. Sementara itu, Niesha duduk di tepi ranjang, memandang jendela dengan tatapan kosong, seolah pikirannya tersesat di antara keramaian kenangan dan kegelisahan yang sulit dijelaskan.

“Aku rasa kita sebaiknya tidur lebih awal,” ucap Anjas lembut, memperhatikan istrinya yang tampak lelah. “Besok perjalanan kita panjang, kamu kelihatan capek.”

Niesha tersenyum tipis, mengangguk pelan. “Ya, aku akan tidur sebentar lagi.”

Namun, di dalam hatinya, ada sesuatu yang terusik. Malam ini adalah malam terakhir mereka di Makkah. Kepergian ini terasa seperti sebuah akhir yang tidak hanya berarti akhir dari ibadah haji mereka, tapi juga akhir dari sebuah keputusan besar yang telah ia ambil. Anjas sudah menjadi bagian dari hidupnya sekarang, tetapi bayangan Gani—cinta masa lalunya yang telah tiada—masih begitu hidup di hatinya.

Setelah berbaring di ranjang dan memejamkan mata, Niesha akhirnya tertidur. Namun, tidurnya tidak damai. Perlahan-lahan, ia terhanyut dalam mimpi yang membawa dirinya kembali ke masa-masa ketika Gani masih hidup. Suasana berubah, dan Niesha kini berada di sebuah rumah sakit yang terasa asing, dengan dinding-dinding putih dan aroma obat-obatan yang menusuk hidung.

Di sana, di atas tempat tidur, Gani terbaring. Wajahnya pucat, tetapi ada senyum damai yang menghiasi bibirnya. Gani terlihat seperti seseorang yang telah berdamai dengan takdirnya, seseorang yang tahu bahwa waktunya sudah hampir tiba. Di tangannya, ada sebuah buku—buku yang sama dengan yang Niesha baca sebelum keberangkatannya ke Tanah Suci. Itu adalah buku yang dulu sering mereka bicarakan, penuh dengan cerita dan filosofi yang selalu membuat mereka tenggelam dalam diskusi panjang.

Niesha mendekat, merasakan rindu yang mendalam menghimpit dadanya. 

"Gani?" bisiknya, setengah tak percaya. 

Gani tersenyum kepadanya, seolah-olah semuanya baik-baik saja. “Buku ini milikmu sekarang,” katanya sambil menyerahkan buku itu padanya. “Jangan lupa apa yang pernah kita bicarakan.”

Ketika Niesha menerima buku itu, ada perasaan hangat dan sekaligus dingin yang menyergapnya. Mimpi ini terasa begitu nyata, lebih nyata dari apapun yang pernah ia rasakan. Seolah-olah Gani masih ada di sini, menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, mimpi itu memudar, dan Niesha tiba-tiba terbangun.

***

Lihat selengkapnya