"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang harimu, serta usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan." (QS. Ar-Rum: 23)
Neisha duduk termenung di tepi ranjang hotel, memandang jauh keluar jendela yang menyuguhkan suasana malam Makkah yang begitu sunyi, namun dalam kedamaian itu terselip kegelisahan yang tak bisa ia abaikan. Di tangannya, mushaf Al-Qur'an yang baru saja ia baca masih erat tergenggam, seolah menjadi satu-satunya jangkar di tengah badai perasaannya. Di meja kecil samping ranjang, sebuah buku lain—Dream Catcher—tergeletak diam. Dua buku ini, pikir Neisha, seperti dua cermin bagi dunia batinnya: Al-Qur'an sebagai sumber kekuatan rohaninya, sementara *Dream Catcher* menyimpan segala mimpi dan asa yang belum juga menemukan jalan terang.
Setiap kali ia membuka lembaran suci Al-Qur'an, ketenangan mengaliri jiwanya. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Saat membaca ayat-ayat tentang kebesaran Allah atas tidur dan kesadaran manusia, pikirannya justru tertarik kembali pada mimpi-mimpi yang belakangan ini menghantuinya. Mimpi-mimpi itu tak sekadar datang dan pergi—mereka terasa begitu hidup, begitu nyata, seolah-olah ada pesan penting yang ingin disampaikan oleh alam bawah sadarnya.
Neisha menarik napas dalam-dalam, meraih Dream Catcher dan membukanya perlahan. Tulisan-tulisan dalam buku itu sama seperti sebelumnya, tapi kali ini rasanya seperti berbicara langsung kepadanya, menyentuh hatinya yang paling dalam. Tentang mimpi-mimpi yang menggantung di antara harapan dan kenyataan, tentang keajaiban takdir yang sering kali tak dapat dimengerti. Dan di tengah-tengah itu semua, bayangan Gani, suaminya yang telah pergi mendahului, muncul di pikirannya. Kenangan tentangnya selalu hadir, tapi malam ini, ia terasa begitu dekat.
“Apa sebenarnya yang ingin kau katakan, Gani?” bisik Neisha dalam hati, suaranya nyaris terbenam dalam keheningan malam. Ada kerinduan mendalam di balik kebingungannya, rasa kehilangan yang tak kunjung sembuh.
Waktu terus merambat, dan malam semakin dalam. Matanya perlahan mulai memberat, meski hatinya masih dipenuhi kegelisahan yang tak terjelaskan. Neisha meletakkan kedua buku di sampingnya, Al-Qur'an dan Dream Catcher, dua simbol yang bertolak belakang namun saling melengkapi. Dengan segala kerumitan pikiran dan perasaan, akhirnya ia berbaring, membiarkan dirinya terlelap. Malam itu, ia kembali terjun ke dalam dunia mimpi—dunia yang misterius, penuh tanda tanya, tempat antara kenyataan dan keajaiban saling bertemu.
**
Dalam tidurnya, Neisha mendapati dirinya kembali terjebak di lorong rumah sakit yang panjang dan sunyi. Cahaya redup dari lampu langit-langit memancarkan suasana yang samar, sementara aroma antiseptik yang menyengat mengingatkannya pada detik-detik terakhir Gani di tempat itu. Namun, kali ini, ada yang berbeda.
Di ujung lorong, Gani terbaring lemah di ranjang yang sama seperti yang ia lihat dalam mimpi-mimpi sebelumnya. Tapi ada sesuatu yang membuat Neisha semakin terjerat dalam emosi yang aneh, di tangan Gani kini terpegang sebuah mushaf Al-Qur'an dan buku Dream Catcher, persis seperti yang ia baca sebelum terlelap.
Wajah Gani memancarkan ketenangan, meskipun fisiknya tampak rapuh. Neisha melangkah mendekat, hatinya bergetar dengan campur aduk antara harapan dan ketakutan, berusaha mencari tahu apa pesan yang ingin disampaikan melalui mimpi ini. Gani membuka matanya perlahan, menatapnya dengan tatapan yang dalam. Senyum tipis mengembang di wajahnya, namun senyuman itu seolah menyimpan banyak misteri—ada kehangatan sekaligus kesedihan yang membuat Neisha terenyuh.
"Neisha," suara Gani mengalun lembut, namun setiap kata terasa begitu berarti. "Ini untukmu." Ia mengulurkan mushaf itu, memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar simbol keagamaan. Dalam hatinya, Neisha merasakan tekanan yang semakin menumpuk. Tangannya gemetar saat meraih mushaf tersebut, setelah itu Gani juga menunjuk buku Dream Catcher dan mengisyaratkan Neisha untuk mengambilnya juga, matanya tak lepas dari tatapan Gani, berharap mendapatkan pencerahan atas segala kebingungannya.
"Apa maksudmu, Gani? Apa yang ingin kau sampaikan?" suaranya lirih, terhambat rasa ragu dan penuh harapan.