Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #20

Bab 20: Pertemuan Takdir

Pagi itu, suasana di Masjidil Haram begitu tenang dan damai. Matahari baru saja mulai menampakkan diri, menyinari kota suci dengan hangat, namun tidak menyengat. Di sekitar masjid, para peziarah dari berbagai penjuru dunia memenuhi halaman dan area di sekitarnya. Niesha berjalan pelan, menyusuri jalanan menuju Masjidil Haram dengan langkah yang tenang namun terasa berat di hatinya. Mukena putih yang dikenakannya bergerak lembut seiring langkahnya, sementara pikirannya melayang jauh, melampaui kota ini, menembus kenangan yang terus menghantuinya.

Dia telah berada di Makkah selama beberapa hari bersama Anjas, suaminya, untuk menjalankan ibadah umrah. Namun setiap harinya, di tengah kekhusyukan beribadah, ada satu perasaan yang selalu datang menghampirinya—perasaan yang membuat hatinya galau dan pikirannya kacau. Ada sesuatu yang membuat Niesha merasa seolah dirinya berada di persimpangan jalan, di mana dua arah yang berbeda harus ia pilih.

Ketika Niesha memasuki halaman Masjidil Haram, ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Suara azan menggema di seluruh penjuru kota, memanggil umat muslim untuk datang dan bersujud. Niesha menghentikan langkahnya sejenak, merasakan gemuruh azan di dadanya. Entah kenapa, setiap kali ia mendengar panggilan itu, bayangan Gani selalu datang. Seolah-olah ada pesan yang belum tersampaikan. Seperti ada sesuatu yang menghubungkannya dengan lelaki itu, meski Gani telah tiada.

Niesha berjalan lebih dalam ke dalam masjid, mencari tempat yang nyaman untuk bersujud. Setelah menemukannya, ia duduk di sana, mencoba melawan perasaan galau yang terus muncul. Di antara banyaknya doa yang ia panjatkan, doa untuk mendapatkan petunjuk selalu menjadi yang utama. Niesha mengangkat kedua tangannya, memejamkan mata, dan mulai berbicara dalam hatinya.

"Ya Allah, tunjukkan jalan terbaik untukku. Jika Gani adalah bagian dari masa laluku yang harus kulupakan, bantu aku melupakan. Jika Anjas adalah masa depanku, berikan aku kekuatan untuk menerimanya sepenuhnya. Aku merasa tersesat, Ya Allah, bimbinglah aku…” doa itu terus meluncur dari hatinya, seiring air mata yang perlahan menetes tanpa ia sadari.

Ketika ia selesai berdoa, Niesha merasakan sedikit ketenangan. Namun begitu ia membuka mata, kenangan tentang Gani kembali menghantamnya. Seperti angin yang berhembus tanpa permisi, ingatan tentang percakapan terakhir mereka di rumah sakit tiba-tiba datang begitu jelas. 

"Niesh, kamu harus kuat. Jangan pernah menyesali apapun yang terjadi dalam hidupmu. Hidup akan selalu berjalan, meskipun tidak selalu sesuai dengan yang kita inginkan," suara Gani terdengar jelas di telinga Niesha, seperti sebuah pesan yang tak akan pernah hilang.

Niesha menarik napas dalam-dalam, mencoba melepaskan rasa yang menggelayut di hatinya. Ia berdiri, merapikan mukenanya, dan melangkah keluar dari area masjid, mencari Anjas yang mungkin sedang menunggunya di luar.

***

Anjas duduk di kursi panjang dekat pintu keluar masjid, matanya memperhatikan setiap orang yang keluar. Ketika ia melihat Niesha, wajahnya tersenyum lembut, meski ada kekhawatiran yang tersembunyi di balik senyuman itu. 

"Bagaimana ibadahmu tadi?" Anjas bertanya saat Niesha mendekat. Ia berdiri, meraih tangan Niesha dengan lembut, mencoba memberi kehangatan melalui sentuhannya.

"Baik... aku merasa lebih tenang," jawab Niesha dengan senyum tipis. Ia tidak bisa berkata jujur sepenuhnya. Anjas adalah suaminya, orang yang seharusnya paling ia percaya dan bisa menjadi tempat berbagi. Tapi bagaimana ia bisa menceritakan tentang Gani? Tentang perasaan yang terus menghantuinya? Niesha tahu bahwa Anjas tidak pantas dibebani dengan perasaan seperti itu.

Lihat selengkapnya