"Katakanlah: Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al-An'am: 162)
Malam di Makkah semakin larut, namun kegelisahan Neisha masih menggelayuti hatinya. Setelah menunaikan shalat di Masjidil Haram, ia kembali ke kamar hotel, di mana ritus yang sama selalu ia lakukan—duduk di tepi ranjang sambil memeluk sebuah buku. Namun kali ini, ia tidak membuka Al-Qur'an terlebih dahulu; melainkan Dream Catcher, buku yang seringkali menuntunnya menyelami mimpi dan harapan yang terus berkecamuk dalam jiwa.
Kata-kata dalam buku itu meresap, mengaduk perasaannya yang belum sepenuhnya terjawab. “Di antara dua jalan, terkadang yang paling sulit bukanlah memilih, melainkan menerima bahwa setiap pilihan membawa konsekuensi.”
Dengan perlahan, Neisha menutup buku itu, menggenggamnya erat seolah mencari kenyamanan dari kalimat yang seolah berbicara langsung pada keraguan di hatinya. Dua jalan kini membentang di hadapannya—jalan masa lalu, di mana cintanya kepada Gani masih menyala, atau jalan masa kini, yang mencoba dibangun kembali bersama Anjas. Setiap doa yang ia panjatkan di Masjidil Haram seakan mengantarkan pertanyaan yang sama: Mampukah ia menerima kenyataan bahwa hidupnya harus terus melangkah, atau akankah ia terjebak dalam kerinduan akan masa lalu?
“Ya Allah,” bisik Neisha dengan suara lembut, matanya terpejam erat sambil mendekap buku itu ke dada, seolah berharap Tuhan mendengar isi hatinya yang paling dalam. “Berikan aku petunjuk. Hatiku terombang-ambing, dan aku takut akan langkah yang salah.”
Langit malam yang gelap di Makkah tampak seolah menyimpan jawaban yang ia cari. Angin dingin yang lembut berhembus masuk ke kamarnya, seperti membawa bisikan dari masa lalu yang jauh. Dalam keheningan itu, Neisha teringat akan kenangan bersama Gani—saat-saat terakhir di rumah sakit, ketika ia menggenggam tangan suaminya untuk terakhir kalinya, merasakan kehangatan yang perlahan memudar. Kenangan itu seakan menggenggam jiwanya, membawa serta rasa kehilangan yang tak kunjung sirna.
Di tengah semua kebingungan ini, satu hal terasa jelas: di mana pun jalannya, cinta dan harapan tetap menjadi bagian dari perjalanan yang harus ia hadapi.
**
Di tengah keramaian Masjidil Haram, saat suara doa dan dzikir membahana, Neisha merasakan kehadiran Gani seperti bayangan yang tak pernah pudar. Setiap kali ia sujud, sosok Gani seakan menemaninya dalam keheningan, mengingatkan akan cinta yang begitu mendalam. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan seseorang yang telah menjadi sandaran di tengah badai hidupnya, namun kini meninggalkan kekosongan yang tak tertandingi oleh siapa pun?
Neisha tersenyum pahit di dalam hati. Cinta itu layaknya bayangan—tak bisa digenggam, namun selalu ada, meski tak terlihat oleh mata. Kenangan-kenangan indah itu menari dalam pikirannya, menambah berat langkahnya.
Namun, di sisi lain, Anjas hadir dengan ketulusan yang seperti tak tertandingi, berusaha memperbaiki hubungan yang telah lama rapuh. Neisha, terperangkap dalam nostalgia cinta yang hilang, tak pernah memberi Anjas kesempatan yang sejati. Kini, di tanah suci ini, Anjas berjuang keras untuk menunjukkan betapa berartinya Neisha baginya. Ia memberikan perhatian, membangun kehangatan yang perlahan mencairkan hati Neisha. Namun, apakah semua usaha ini cukup?
Anjas bukanlah Gani, dan mungkin tak akan pernah bisa mengisi tempat yang ditinggalkan. Tetapi, haruskah Neisha terus menutup mata terhadap cinta yang hadir di hadapannya hanya karena ia belum mampu melepaskan cinta yang telah berlalu? Dalam kerinduan dan harapan yang saling berkonflik, mungkin Neisha harus belajar bahwa cinta baru bisa tumbuh, meski akar lamanya masih tersemat dalam ingatan.