Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #21

Bab 21: Tanda dari Masa Lalu

Malam itu, di bawah langit Mekkah yang cerah, Niesha duduk di salah satu sudut Masjidil Haram, menatap Ka'bah dengan pandangan penuh harap. Udara malam yang sejuk membuat hatinya sedikit lebih tenang, meskipun perasaan yang bergejolak masih menyelimuti dirinya. Di sekelilingnya, ribuan orang terus beribadah dengan khusyuk, memanjatkan doa-doa dan harapan mereka masing-masing. Namun, bagi Niesha, kehadiran fisiknya di masjid ini masih belum bisa membuat hatinya merasa damai.

Niesha memejamkan mata, merapatkan tangan di dada, berusaha meresapi setiap kata yang diucapkannya dalam doanya. Namun, seperti ada yang mengganjal, seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan hatinya dari ketenangan yang dicari.

“Ya Allah,” bisiknya pelan, air mata mulai mengalir di pipinya. “Apa yang sebenarnya Engkau ingin hamba temukan di sini? Mengapa hati ini masih terasa begitu gelisah?”

Tangannya bergetar saat menyeka air mata. Niesha merasakan berat di dadanya yang sulit dijelaskan. Selama perjalanan umrah ini, dia berharap bisa menemukan jawaban atas kegelisahan yang terus menghantui sejak Anjas kembali. Namun, semakin lama, semakin banyak pertanyaan yang justru muncul dalam benaknya.

Anjas, yang duduk tak jauh darinya, memperhatikan Niesha dengan cermat. Dia tahu ada sesuatu yang mengganggu istrinya, tetapi Niesha belum membuka diri untuk membicarakannya. Anjas sendiri merasa serba salah. Setiap kali mencoba mendekat, Niesha selalu menutup diri dengan senyum lembut yang terasa penuh jarak.

"Niesha," panggil Anjas lembut, memecah keheningan di antara mereka. "Jika kamu merasa lelah. Apa kita istirahat dulu?"

Niesha menggeleng pelan, tanpa membuka matanya. “Aku belum selesai. Masih banyak doa yang ingin aku panjatkan,” jawabnya.

Anjas hanya mengangguk, meskipun hatinya berdesir. Dia tahu Niesha sedang menyembunyikan sesuatu, tetapi tidak ingin memaksanya bicara. Dengan sabar, Anjas memandang Niesha yang masih tenggelam dalam doa, berharap istrinya segera menemukan kedamaian yang selama ini dia cari

Waktu terus berjalan, dan Niesha masih duduk di tempatnya, kini benar-benar tenggelam dalam doa. Namun, setiap kata yang diucapkannya terasa hampa. Dia merasakan kesulitan untuk benar-benar terhubung dengan perasaannya.

Niesha memikirkan pernikahannya dengan Anjas, bagaimana mereka bertemu kembali setelah tujuh tahun berpisah. Pada awalnya, Niesha mengira bahwa cinta lama mereka akan membantunya melupakan segala kepahitan dan kesedihan saat Anjas meninggalkan dirinya. Tetapi sekarang, di hadapan Ka'bah, dia mulai meragukan semua keputusan yang telah diambilnya.

“Aku mencintai Anjas, tapi kenapa perasaan ini tidak hilang?” pikirnya, air matanya semakin deras mengalir. “Apakah aku belum bisa melupakan Gani? Apakah ini artinya aku tidak bisa melanjutkan hidupku dengan Anjas?”

Pikiran tentang Gani tiba-tiba menyeruak begitu kuat. Wajah Gani, suami pertamanya, tampak jelas dalam ingatannya—senyuman lembutnya, cara Gani memeluknya saat mereka pertama kali menikah. Rasa bersalah langsung menjalar di hati Niesha. Kenapa dia masih mengingat Gani di saat seperti ini, saat seharusnya fokus kepada pernikahannya yang sekarang?

Niesha mencoba mengusir kenangan itu. "Ya Allah, tolong hilangkan perasaan ini. Hamba ingin memulai lagi dan bahagia bersama Anjas," bisiknya dengan suara lirih. Namun, tak peduli seberapa keras dia berusaha, bayangan Gani tetap ada di sana, seperti bayangan yang tak terhapuskan.

Dia membuka mata perlahan, menatap Ka'bah lagi, berharap mendapatkan jawaban. Namun yang dia rasakan hanyalah kekosongan. Apakah ini tanda dari Allah? Apakah ini perasaan yang harus dia hadapi sebelum bisa benar-benar melanjutkan hidup?

Lihat selengkapnya