Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #22

Bab22: Kepulangan yang Sepi

Pesawat dari Jeddah meluncur pelan di angkasa, meninggalkan Arab Saudi di belakang. Di dalam pesawat, Niesha duduk terdiam, menatap kosong ke luar jendela. Awan putih di luar seakan mengalir begitu saja, namun pikiran Niesha tidak bisa berhenti berputar. Anjas, suaminya, duduk di sebelahnya, mencoba mencairkan suasana.

“Capek nggak, Niesha?” Anjas memulai percakapan dengan lembut.

Niesha menoleh sebentar, lalu tersenyum kecil. “Nggak juga. Cuma lelah sedikit.”

Anjas tersenyum, tetapi ia bisa merasakan betapa kosongnya jawaban Niesha. Meski mereka baru saja menyelesaikan perjalanan spiritual yang diharapkan mampu memperbaiki hubungan mereka, jarak emosional di antara mereka masih sangat terasa. Niesha mencoba menjaga ketenangannya, namun dalam hatinya, banyak hal yang tak terucapkan. Kenangan tentang Gani masih membayang, dan setiap kali Anjas menyentuh tangannya, bayangan Gani semakin nyata di pikirannya.

“Semoga perjalanan ini bisa membuat kita lebih baik ya, Niesha,” Anjas berkata pelan, seolah berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Niesha.

Niesha hanya mengangguk. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia ingin mempercayai Anjas, ingin percaya bahwa segalanya akan membaik demi anak-anak mereka, Dendi dan Dimas. Namun, rasa sakit yang selama ini dia simpan dalam hati masih terlalu berat untuk dilupakan begitu saja.

Di tengah kebisingan mesin pesawat, Niesha memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. Dalam hati, ia berdoa agar diberi kekuatan untuk menyelesaikan perasaannya yang bercabang.

***

Ketika Niesha terbangun dari tidurnya yang ringan, pesawat sudah memasuki wilayah udara Indonesia. Dia merapikan kerudungnya dan menarik napas panjang. Sekilas, ia melirik Anjas yang tengah tertidur pulas di sebelahnya. Wajah Anjas tampak lebih tenang sekarang, namun Niesha tahu, hati Anjas mungkin sama gelisahnya seperti hatinya sendiri.

Kenangan tentang Gani datang lagi. Senyum lembutnya, tatapan matanya, dan bagaimana Gani selalu membuat Niesha merasa dipahami. Ia ingat setiap detik yang mereka habiskan bersama sebelum Gani pergi untuk selamanya. Tapi kini, ia harus menyimpan kenangan itu dalam-dalam. Gani sudah tiada, dan Niesha sadar bahwa membiarkan bayangan Gani terus menghantui hidupnya hanya akan membuat semuanya lebih sulit.

"Maafkan aku, Gani," bisik Niesha pelan, hampir tak terdengar. "Aku harus melanjutkan hidupku. Anjas dan anak-anak butuh aku... dan aku butuh belajar untuk menerima kembali kehadiran Anjas."

Namun, kata-kata itu tidak serta merta menghapus rasa sakit di hatinya. Bagian dari dirinya masih terus berpegang pada kenangan bersama Gani, tetapi sekarang, dia sadar bahwa waktu untuk melepaskan itu sudah tiba.

***

Bandara Soekarno-Hatta ramai seperti biasa. Niesha dan Anjas berjalan keluar dari area kedatangan dengan langkah pelan. Di kejauhan, dia sudah melihat Dendi dan Dimas yang melambai penuh semangat ke arah mereka. Paman dan bibi anak-anak mereka juga berdiri tidak jauh dari sana, tersenyum menyambut.

"Masya Allah, anak-anak datang menjemput, bunda kangen banget kalian," Niesha berkata sambil memandang mereka dengan penuh kasih.

Dendi yang beranjak remaja langsung berlari ke arahnya. "Bunda! Aku juga kangen banget sama Bunda!" Dendi memeluk Niesha dengan erat.

Niesha tertawa kecil dan membelai rambut Dendi. "Iya..., iya Bunda juga kangen kamu, Nak."

Sementara itu, Dimas yang masih berada dipangkuan pamannya, langsung turun berlari ke arah Anjas dan memeluk kakinya. "Ayah! Aku sudah nungguin lama, kenapa baru pulang!"

Anjas, yang tampak lebih ceria melihat anak-anaknya, menggendong Dimas dan mengecup keningnya. "Hmm... sekarang Ayah dan Bunda sudah pulang kan! Ayah juga kangen kalian semua."

Melihat kebahagiaan di wajah anak-anaknya, hati Niesha terenyuh. Anak-anak tidak seharusnya menjadi korban dari perasaan hatinya. Mereka membutuhkan sosok ayah dalam hidup mereka, dan meski perasaannya terhadap Anjas masih ragu-ragu, dia tahu bahwa anak-anak mereka butuh kehadiran ayah mereka.

“Ayuk kita Pulang, Bunda sama Ayah ingin cepat sampai rumah, Oh iya. Kalian nggak nakal kan sama Bibi dan paman?” tanya Niesha pada kedua anaknya.

Dendi tersenyum lebar. “nggak dong, Bunda!”

Namun, di balik tawa dan kegembiraan ini, Niesha masih merasakan kehampaan dalam hatinya. Ia baru saja menjalani umroh, tetapi rasa tenang yang ia harapkan masih terasa jauh. Meski Anjas berusaha keras, luka di hati Niesha belum sepenuhnya pulih.

***

Dalam perjalanan pulang menuju rumah, Niesha duduk diam di sebelah Anjas. Anak-anak yang duduk di bangku belakang sudah tertidur setelah kegembiraan menyambut orang tua mereka. Di luar jendela mobil, jalanan Jakarta yang ramai mengalir perlahan, seolah mengiringi perasaan Niesha yang masih tak menentu.

Lihat selengkapnya