"Terkadang, air mata lebih jujur dari kata-kata, dan doa yang paling tulus adalah yang diiringi oleh tangisan hati."
Langit malam di Makkah tampak sepi namun dipenuhi bintang-bintang yang seolah menatap Neisha dari kejauhan. Di antara langkah-langkah kecilnya menuju Masjidil Haram, ia masih memegang buku Dream Catcher erat-erat di tangannya. Kata-kata di dalamnya menjadi pengingat akan mimpi-mimpi dan harapan yang menggantung di antara kehidupannya yang lalu dan masa depannya yang samar. Malam ini terasa berbeda, lebih hening, seolah-olah setiap hembusan angin menyampaikan pesan-pesan dari langit.
Di halaman Masjidil Haram, Neisha duduk di satu sudut yang sepi, menunduk dalam keheningan. Pikirannya berlarian ke masa lalu, pada saat-saat ia bersama Gani, suaminya yang telah tiada. Bagaimana ia akan menjalani hidup setelah kehilangan itu? Pertanyaan itu belum pernah benar-benar terjawab, bahkan sekarang, ketika Anjas muncul kembali dalam hidupnya.
Air mata sudah mulai membasahi pipi Neisha saat ia menunduk lebih dalam, kali ini bukan hanya dalam sujud, tetapi dalam kekosongan hatinya yang belum terisi. Di hadapannya, Ka'bah berdiri tegak, saksi bisu dari doa-doanya yang begitu banyak. Tangannya bergetar ketika ia memanjatkan doa, namun yang keluar hanya tangis, tidak lagi kata-kata. Dalam keheningan itu, Neisha sadar bahwa setiap air mata yang jatuh adalah bagian dari doa yang tak terucap. Setiap tetesan air mata adalah ungkapan dari luka yang belum sembuh, harapan yang belum tergapai, dan ketidakpastian tentang masa depan yang belum ia pilih.
"Ya Allah, hanya Engkau yang tahu isi hatiku," ia berbisik pelan, begitu pelan hingga hanya dirinya sendiri yang mendengar. "Jika Engkau memang menetapkan jalan ini untukku, tunjukkan aku arah yang benar. Jangan biarkan aku tersesat dalam kebimbangan ini."
Air mata Neisha mengalir deras, seolah tidak ada tempat lain di dunia ini yang mampu menampung segala perasaannya kecuali di hadapan Ka'bah, di lokasi suci yang menjadi pertemuan antara langit dan bumi, tempat di mana keagungan Allah hadir. Semua yang terpendam dalam hatinya, baik rasa cinta yang tak kunjung pudar untuk Gani maupun keraguan terhadap Anjas, tumpah ruah dalam tangis yang tak bisa ia tahan lagi. Doanya menjadi tak berbentuk, hanya menyisakan desahan yang keluar dari relung hatinya yang terdalam.
Neisha merasa hatinya terbelah dua. Di satu sisi, ada cinta mendalam untuk Gani, cinta yang tak pernah pudar meskipun waktu terus berjalan. Di sisi lain, ada Anjas, yang dengan penuh ketulusan berusaha membangun kembali jembatan yang dulu sempat runtuh. Namun, keraguan masih menghantui hatinya tentang cinta Anjas dan tentang apakah ia masih layak untuk menerima cinta yang baru.
Dalam keheningan yang menyelimuti, Neisha menutup matanya, mencoba merasakan setiap detak jantung yang berdegup kencang di dadanya. Dalam sunyi itu, suara hatinya yang selama ini terabaikan mulai menggema, membangkitkan kerinduan dan harapan yang tak kunjung sirna.
"Neisha, apakah engkau benar-benar percaya bahwa cinta hanyalah untuk satu orang?"
Suara itu seperti gema dari dalam dirinya, membangkitkan sesuatu yang selama ini ia coba pendam. Apakah ia mampu mencintai lagi? Apakah ada ruang dalam hatinya untuk seseorang selain Gani? Ataukah cinta sejatinya sudah terkubur bersama kenangan masa lalu?
**
Sepulang dari Masjidil Haram, Neisha dan Anjas kembali ke kamar hotel mereka. Neisha merasa kelelahan, bukan hanya fisik tetapi juga batin. Di tengah kesunyian kamar, Anjas mulai berbicara, mencoba menembus dinding yang Neisha bangun di antara mereka.