Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #23

Bab 23: Luka yang Terbuka

"Tidak ada yang lebih pedih daripada menemukan bahwa luka yang telah lama kau sembunyikan ternyata belum sembuh. Kau hanya berusaha keras untuk tidak merasakannya."

 Air mata Neisha mengalir deras di pipinya, seolah tidak ada tempat lain di dunia ini yang mampu menampung segala perasaannya kecuali di hadapan Ka'bah, di lokasi suci yang menjadi pertemuan antara langit dan bumi, tempat di mana keagungan Allah hadir. Semua yang terpendam dalam hatinya, baik rasa cinta yang tak kunjung pudar untuk Gani maupun keraguan terhadap Anjas, tumpah ruah dalam tangis yang tak bisa ia tahan lagi. Doanya menjadi tak berbentuk, hanya menyisakan desahan yang keluar dari relung hatinya yang terdalam.

 Neisha merasa hatinya terbelah dua. Di satu sisi, ada cinta mendalam untuk Gani, cinta yang tak pernah pudar meskipun waktu terus berjalan. Di sisi lain, ada Anjas, yang dengan penuh ketulusan berusaha membangun kembali jembatan yang dulu sempat runtuh. Namun, keraguan masih menghantui hatinya tentang cinta Anjas dan tentang apakah ia masih layak untuk menerima cinta yang baru.

 Dalam keheningan yang menyelimuti, Neisha menutup matanya, mencoba merasakan setiap detak jantung yang berdegup kencang di dadanya. Dalam sunyi itu, suara hatinya yang selama ini terabaikan mulai menggema, membangkitkan kerinduan dan harapan yang tak kunjung sirna.

 **

 Di keheningan malam yang begitu sunyi, Neisha duduk terjaga, terseret oleh ingatan akan doa-doanya saat menjalani umrah. Di hadapan Ka'bah yang megah, ia pernah memohon dengan sepenuh hati, memohon petunjuk yang akan membawanya menuju ketenangan dan kebenaran. Namun, seiring berjalannya waktu, jawaban yang ia nanti-nantikan tak kunjung tiba. Mungkin doa-doanya masih tertahan di langit, atau mungkin hatinya belum cukup kuat untuk menerima kenyataan pahit yang tersembunyi di balik setiap harapannya.

 Anak-anaknya, Dendi dan Dimas, masih memandang Anjas, ayah mereka, sebagai sosok pahlawan yang tak tergantikan. Setiap kali ayah mereka pulang dengan hadiah sederhana atau meluangkan waktu untuk bermain bersama, tawa mereka mengisi rumah dengan kebahagiaan. Namun, di balik senyum manis anak-anaknya, hati Neisha terasa seperti disayat. Ia tak ingin menghancurkan dunia kecil yang penuh kebahagiaan itu, tapi bagaimana bisa ia terus berpura-pura bahagia, saat dirinya sendiri terjebak dalam badai kebingungan dan kesedihan yang seolah tak berujung?

 Malam itu, setelah memastikan kedua anaknya terlelap dalam damai, Neisha terduduk di ruang tamu yang hampa. Pikirannya berkelana jauh, hingga akhirnya air mata yang selama ini tertahan, mulai jatuh perlahan. Ia sadar, kenyataan pahit yang selama ini ia coba hindari kini menatapnya tanpa ampun. Luka di hatinya, yang dulu ia kira telah sembuh, ternyata hanya tertutup oleh lapisan tipis harapan yang rapuh. Kini, luka itu terbuka kembali, menguak rasa sakit yang selama ini tak pernah benar-benar hilang. Sakit yang kembali menyeruak, menghancurkan setiap helai ketenangan yang pernah ia bangun.

 **

 Saat pagi datang, sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah tirai terasa asing bagi Neisha. Biasanya, pagi hari adalah waktu yang ia nanti dengan semangat baru, namun kali ini, ada beban yang menyelimuti setiap gerakannya. Anjas duduk di meja makan, meminum kopi tanpa sepatah kata pun. Dendi dan Dimas masih tertawa riang, berebut perhatian ayah mereka, namun Anjas tampak jauh, seolah berada di dunia lain. Neisha memperhatikannya dari sudut mata, merasakan jarak yang semakin lebar antara mereka.

 Setelah anak-anak berangkat ke sekolah, Neisha memberanikan diri untuk berbicara. “Anjas, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Suaranya terdengar tenang, tapi di dalam hatinya, ada badai yang berkecamuk. Ia menunggu Anjas menanggapi, tapi pria itu hanya mengangguk kecil sambil tetap fokus pada cangkir kopinya.

 “Aku merasa ada yang berbeda di antara kita,” lanjut Neisha, suaranya mulai gemetar. “Sekarang kita jarang bicara lagi, dan... kau tampak jauh. Apakah ada sesuatu yang salah?”

Lihat selengkapnya