Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #24

Bab 24: Ketakutan yang Tersembunyi

"Kebohongan adalah racun yang perlahan-lahan merusak fondasi cinta. Semakin kau menyembunyikannya, semakin dalam ia menggerogoti hatimu."

Neisha duduk lagi di ruang tamu yang jadi tempat baca kesukaannya. Buku Dream Catcher tergeletak di pangkuannya, tetapi kali ini pikirannya melayang jauh dari kata-kata yang tertulis di halaman-halaman itu. Malam terasa begitu sunyi, hanya suara detik jam yang mengisi kekosongan di ruangan. Ketika ia membuka buku tersebut, lembar demi lembar berlalu tanpa benar-benar dibaca. Semua yang ia coba lakukan adalah mengalihkan pikirannya dari kenyataan yang semakin menekan dadanya.

Tapi kenyataan, seperti ular berbisa, terus melingkar di benaknya, menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Dan Neisha tahu, dia tidak bisa terus bersembunyi dari apa yang ia rasakan. Ada sesuatu yang salah, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar jarak antara mereka. "Anjas telah berubah," pikirnya, perasaan gelisah tak henti menghantui.

Dua hari yang lalu, Neisha menemukan pesan di ponsel Anjas. Satu pesan yang singkat namun begitu mengguncang, memaksa semua kebohongan yang selama ini tersembunyi terkuak. Seseorang memanggil Anjas dengan sebutan “Papa.” Dan yang lebih menghancurkan lagi, pengirim pesan itu menyebut dirinya “Mama.”

Malam-malam yang panjang setelah penemuan itu dipenuhi dengan kegelisahan. Neisha tidak berani langsung menghadapinya. Sebaliknya, ia memilih diam dan membiarkan rasa takutnya menelan dirinya perlahan-lahan, seperti racun yang merayap melalui setiap nadi dan menghancurkan ketenangannya.

Neisha memejamkan matanya sejenak, mencoba mengusir kenangan yang menghantuinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—wajah Anjas dan senyumannya yang kini terasa penuh kebohongan semakin jelas. "Mengapa kau berbohong, Anjas?" bisiknya dalam hati. "Mengapa kau menghancurkan apa yang kita bangun bersama?"

**

Pagi itu, Neisha duduk di meja makan, mencoba menjalani rutinitas seperti biasa. Namun, tidak ada yang terasa normal lagi. Setiap suara di rumah—tawa riang Dendi dan Dimas, langkah kaki Anjas yang terdengar dari ruang tamu—seolah bergema dengan nada yang salah, seperti simfoni yang telah kehilangan harmoninya.

Dari sudut matanya, Neisha memperhatikan Anjas yang sibuk dengan ponselnya. Senyum tipis sesekali tersungging di wajahnya, tapi Neisha tahu, senyum itu bukan untuknya. Setiap kilatan kebahagiaan di wajah suaminya bagai sembilu yang menggores hati Neisha. Ia ingin berteriak, marah, dan menuntut jawaban. Namun lidahnya terasa kelu, terperangkap dalam ketakutan. Ketakutan bahwa apa yang selama ini ia rasakan benar adanya. Ketakutan bahwa setiap alasan sibuk, setiap dalih pekerjaan, hanyalah dusta yang menutup kebenaran pahit.

Ketika Anjas berangkat ke kantor, Neisha merasa tak lagi mampu bertahan dengan keraguan yang menggerogoti hatinya. Untuk pertama kalinya, ia melakukan sesuatu yang tak pernah terlintas sebelumnya, melacak pesan-pesan di ponsel Anjas. Dan kenyataan yang ia temukan menghantamnya tanpa ampun. Anjas bukan sekadar berselingkuh. Ia telah membangun kehidupan lain bersama wanita itu, seorang wanita yang bahkan memiliki anak-anak yang lebih tua dari Dimas. Segala sesuatu yang selama ini mereka jalani bersama hanyalah ilusi. Anjas, pria yang ia cintai sepenuh hati, adalah orang yang menenun kebohongan itu dengan sangat rapi.

“Kenapa, Anjas? Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?” tanyanya dalam hati, seolah memohon jawaban yang tak pernah datang. Setiap pesan yang ia baca terasa seperti duri yang menusuk lebih dalam, menyayat bagian-bagian terdalam dari dirinya yang tak mungkin sembuh.

Lihat selengkapnya