"Kebenaran selalu meninggalkan jejak, meskipun tersembunyi dalam kabut kebohongan."
**
Neisha memandangi buku *Dream Catcher* yang terbuka di tangannya, tapi kata-kata di halaman itu seakan-akan tak lagi punya arti. Setiap kalimat yang terbaca justru memantul di benaknya seperti kaca yang pecah, menyebar potongan-potongan kecurigaan dan kebingungan yang terus menghantuinya. Buku itu, yang dulu menjadi tempatnya melarikan diri dari segala luka, kini terasa hampa—tidak lagi menawarkan kedamaian yang ia butuhkan. Di balik lembaran-lembarannya, ia mencari jawaban yang tidak pernah muncul. Hanya keheningan yang membalas.
Anjas, suami yang dulu selalu hadir dengan senyum hangat dan sentuhan yang menenangkan, kini berubah menjadi sosok yang sulit dikenali. Sejak kepulangannya dari Tanah Suci, ada jarak yang tak terucap, namun begitu nyata di antara mereka. Setiap malam, Anjas kembali dengan wajah letih, tanpa senyum, tanpa cerita. “Dia bukan lagi Anjas yang dulu pergi umrah bersamaku,” batin Neisha perih.
"Kenapa dia berubah?" Neisha bergumam, setengah berharap ada yang bisa menjawab. "Apakah ini yang mereka sebut perubahan setelah perjalanan spiritual? Ataukah ini tanda-tanda bahwa semuanya perlahan berakhir?"
Malam demi malam, Neisha semakin sering duduk sendirian di ruang tamu, menunggu sosok yang seolah tak pernah benar-benar hadir lagi. Anjas sering pulang larut, dengan ponsel yang selalu menyala di tangannya, mengabaikan kehadirannya. Terkadang ia bahkan tidak pulang sama sekali. Dan setiap kali Neisha mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya, jawabannya tak pernah berubah: "Aku ada pekerjaan, banyak urusan yang harus diselesaikan."
"Tapi sampai kapan, Anjas?" Neisha akhirnya bertanya di suatu malam, dengan suara yang hampir bergetar. “Sampai kapan aku harus menunggu?”
Anjas menoleh sejenak, namun hanya ada kelelahan di matanya. "Aku sedang berusaha, Neisha," jawabnya, namun kata-katanya terdengar jauh, kosong.
Kamar tidur mereka yang dulu penuh dengan tawa dan kehangatan, kini hanya menyisakan kehampaan. Kasur itu terasa begitu luas, begitu dingin. Neisha merasakan air matanya menetes, terjebak dalam perasaan yang tak terungkap. Apakah ini benar-benar akhir dari semua harapan yang pernah ia jaga?
Dalam diam yang mencekam, Neisha mencoba berbicara dengan dirinya sendiri, berharap ada jawaban yang bisa menjelaskan segala kegelisahan yang menghimpit hatinya. Namun, yang terdengar hanyalah suara napasnya yang terputus-putus, disertai isakan pelan yang menyatu dengan dinginnya malam yang terasa semakin menusuk.
Di dalam hatinya, Neisha tahu ada sesuatu yang tak beres. Perasaannya tak bisa lagi dibohongi. Terlalu banyak kebetulan yang tak bisa lagi dianggap angin lalu, terlalu banyak isyarat yang semakin memperjelas kecurigaannya. Anjas, suami yang dulu ia percayai sepenuh hati, kini terasa asing. Bukan lagi pria yang dulu mengisi hidupnya dengan cinta yang tulus, tapi seseorang yang seolah-olah menyembunyikan sesuatu di balik tatapannya yang hampa.
Pada suatu malam yang penuh dengan pertanyaan tak terjawab, Anjas lagi-lagi pulang terlambat. Neisha, yang sudah terlalu lama terjebak dalam ketidakpastian, akhirnya memutuskan untuk benar-benar memperhatikan. "Aku tak bisa terus seperti ini," bisiknya, nyaris tak terdengar. "Tuhan, aku mohon... beri aku kekuatan untuk menerima apa pun yang akan terjadi," ucapnya pelan, sementara tangannya menggenggam erat buku yang belum sempat ia baca, namun pikirannya jelas tak berada di halaman-halaman itu.
Waktu terus berlalu, jarum jam terasa bergerak lebih lambat, seolah ikut mempermainkan kesabaran Neisha. Setiap detiknya menjadi siksaan yang menggerogoti ketenangan yang tersisa dalam dirinya. Hingga akhirnya, bunyi kunci pintu yang diputar memecah keheningan malam. Anjas masuk, dengan langkah tergesa yang tidak bisa menutupi kegelisahan yang menyelimutinya. Seakan ada sesuatu di luar sana yang selalu ingin dia hindari—atau sembunyikan.
"Kau pulang terlambat lagi," suara Neisha terdengar lembut, namun di balik kelembutan itu ada segudang pertanyaan yang mendesak, siap meledak kapan saja. Anjas menoleh, tapi matanya tak berani menatap langsung. "Kenapa? Apa yang kau sembunyikan dariku, Anjas?" ujarnya, kali ini suaranya bergetar, menyiratkan luka yang tak lagi bisa ditahan.
Neisha tahu, ini adalah saat yang akan mengubah segalanya—saat di mana kebenaran, bagaimanapun menyakitkannya, harus keluar dari bayang-bayang keraguan yang selama ini menggelayuti hidup mereka.