Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #26

Bab 26: Pergulatan Batin

"Sungguh, ketika cinta berubah menjadi beban, kau tak lagi berjalan berdampingan, tetapi terseret oleh janji-janji yang tak pernah ditepati."

**

Seperti mengikuti ritme yang tak terlihat, Neisha kembali duduk di ruang tamu yang sunyi. Buku Dream Catcher yang ada di tangannya terasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena tebalnya halaman, melainkan karena hati Neisha yang semakin larut dalam dilema yang tak berujung. Dengan perlahan, ia membuka halaman pertama, mencoba mengalihkan pikirannya yang kalut, namun kata-kata di sana hanyalah bayangan samar yang sulit ditangkap. Seperti angin yang diam-diam membawa debu ke setiap sudut ruangan, begitu pula ingatan tentang Anjas—tentang kebohongan yang terkuak—terus berputar tanpa henti, tak memberinya ruang untuk bernapas lega.

Malam-malam terasa begitu panjang dan tak berujung. Hanya ada dirinya dan kegelapan yang menjadi saksi bisu dari air mata yang terus mengalir tanpa henti. Setiap tetesan itu membawa serpihan hatinya yang hancur, dan dalam serpihan-serpihan itu, tersembunyi cinta yang semakin pudar. Cinta yang dulu memberi hangat dan rasa aman kini telah berubah menjadi beban berat yang melilit lehernya, membungkam kebahagiaan yang pernah ia miliki.

"Apa yang harus kulakukan?" suara batinnya menggema, seolah meminta jawaban yang tak kunjung datang. "Bagaimana aku bisa terus berjalan di jalan yang penuh duri ini, ketika setiap langkah yang kuambil terasa semakin sulit dan menyakitkan?"

Matanya menatap kosong ke luar jendela. Malam di luar tampak tenang, namun di dalam dirinya, badai berkecamuk. Pikirannya dipenuhi oleh suara-suara kenangan yang terus menghantui. Ia ingat saat-saat dahulu, ketika ia dan Anjas masih bisa tertawa bersama, ketika hidup mereka terasa begitu penuh. "Ke mana perginya semua itu? Di mana tawa yang dulu kita bagi? Di mana cinta yang pernah begitu kuat?"

Di tengah rasa sakit yang terus mengiris jiwanya, Neisha sadar satu hal: pernikahan ini tak lagi seperti yang dulu. Ia terjebak dalam janji-janji yang tak pernah dipenuhi, tersesat di dalam kenangan indah yang kini hanya tinggal bayang-bayang. Dendi dan Dimas, anak-anak mereka, menjadi satu-satunya alasan Neisha masih bertahan. Namun, semakin lama ia bertahan, semakin dalam luka yang terukir di hatinya. Setiap hari berlalu dengan rasa sakit yang mengikat, seolah menantang kekuatannya untuk bertahan.

**

Beberapa hari telah berlalu sejak konfrontasi terakhir dengan Anjas, namun jejak peristiwa itu masih menyelimuti rumah mereka, seolah-olah menyisakan bayangan kelam di setiap sudut. Suasana yang dulunya hangat kini terasa dingin dan sunyi, sepi yang mencekam. Anjas tak pernah memberikan penjelasan lebih jauh tentang kebenaran yang telah membongkar kebohongan-kebohongan tersembunyi di antara mereka. Begitu pula Neisha, ia tak lagi bertanya. Keduanya seperti saling setuju untuk membungkam diri, membiarkan kepedihan itu membeku di udara, membangun tembok tak terlihat yang semakin hari semakin tebal, namun tak terelakkan kehadirannya.

Setiap malam, Anjas tetap pulang seperti biasa, menjalani rutinitas yang sama, seakan-akan semuanya baik-baik saja. Namun di mata Neisha, ada yang berbeda, ada jarak yang tumbuh di antara mereka, jarak yang begitu dalam hingga tak lagi bisa diselamatkan oleh kata-kata atau senyum yang dibuat-buat. Setiap kali Anjas melewatinya tanpa memandang matanya, Neisha merasakan hatinya hancur perlahan-lahan. "Apakah cinta kita benar-benar sudah hilang, Anjas?" Kalimat itu menggema di hatinya, namun tak pernah menemukan jalan keluar, terperangkap dalam tenggorokannya bersama air mata yang tak pernah diizinkan jatuh.

Malam itu, setelah menidurkan Dendi dan Dimas, Neisha duduk di tepi tempat tidur mereka. Wajah mungil kedua anaknya yang tertidur pulas tak mampu menghapus beban yang meremas jantungnya. Mereka masih terlalu kecil untuk mengerti keretakan di hati ibunya, tetapi Neisha tahu, di balik senyum polos mereka tersimpan tanya yang mungkin suatu hari akan terucap. "Apa yang harus kukatakan kepada mereka? Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa ayah mereka... telah menghancurkan kita?"

Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya, membuat Neisha merasa tersesat dalam labirin yang semakin menyesakkan. Ia ingin melindungi anak-anaknya dari rasa sakit yang mengintai, tetapi bagaimana mungkin? Ketika dirinya sendiri tak mampu melindungi hatinya yang kini remuk oleh kenyataan?

**

Lihat selengkapnya