"Kebohongan yang dibiarkan tumbuh akan menutupi cahaya, hingga yang tersisa hanyalah bayangan."
**
Malam itu, Neisha membuka buku Dream Catcher lagi. Di setiap halaman, ia mencari jawaban, seperti pelaut yang terombang-ambing di lautan, mencari mercusuar di antara kegelapan. Namun, kata-kata yang dulu membantunya melarikan diri, kini seperti bayangan yang melingkupinya, tak lagi membawa cahaya. Dunia yang ia kenal terasa jauh dan asing, seolah-olah hidupnya kini berjalan di antara dua realitas yang berbeda. Realitas cinta yang ia perjuangkan dan kebohongan yang perlahan menghancurkan segalanya.
Di dalam hatinya, Neisha tahu bahwa cinta yang ia miliki untuk Anjas belum sepenuhnya padam. Seperti bara yang masih menyala di balik abu dingin, perasaan itu terus menggerogoti pikirannya. Namun, ada kekuatan lain yang lebih kuat, bayangan yang kian pekat, menariknya semakin jauh ke dalam jurang kegelapan.
Neisha menatap lembaran buku di tangannya, tetapi bayangan Anjas dengan segala kebohongannya mengganggu pikirannya. “Apakah semua yang terjadi selama ini hanyalah ilusi?” Ia bertanya pada dirinya sendiri, bibirnya bergetar menahan air mata yang tak lagi mampu ia sembunyikan. “Apa yang sebenarnya terjadi di antara kami? Apakah kebohongan ini telah lama menunggu saat yang tepat untuk muncul ke permukaan?”
Pikiran itu seperti duri yang menusuk-nusuk batinnya. Anjas, pria yang ia percayai sepenuhnya, pria yang ia cintai tanpa syarat, kini terasa seperti orang asing. Dunia mereka yang dulu dipenuhi canda tawa dan kehangatan kini berubah menjadi arena penuh ketegangan yang tak terucapkan. Setiap keheningan di antara mereka seperti suara keretakan kecil yang semakin memperlebar jurang di antara mereka.
Malam demi malam, Neisha semakin terperangkap dalam pertanyaan yang sama, dalam bayangan masa lalu yang membayanginya. Ia ingat masa-masa sebelum Anjas berubah, sebelum semua ini terjadi. Ia ingat saat mereka berdua duduk di ruang tamu, memandangi anak-anak mereka yang tertawa riang. “Apakah itu semua hanya mimpi?” pikirnya. “Atau apakah kebohongan telah menyelinap bahkan sejak awal?”
**
Di sudut kamar, suara televisi yang terus menyala tidak mampu mengalihkan perhatian Neisha dari pikirannya yang berlarian. Anjas, yang duduk di sofa dengan ponselnya, tampak tenggelam dalam dunianya sendiri. Tidak ada percakapan, tidak ada pertukaran pandangan, hanya keheningan yang membekukan.
“Anjas…” Neisha memanggil perlahan, suaranya hampir tertelan oleh suara televisi yang gemuruh. Anjas mengangkat kepalanya sedikit, namun tatapannya kosong. Ia hanya menatap Neisha sekilas sebelum kembali menundukkan wajahnya pada layar ponsel, seolah tidak ada yang perlu dibicarakan.
“Anjas, kita harus bicara,” lanjut Neisha, kali ini suaranya lebih tegas. Ia tahu bahwa keheningan ini tidak bisa lagi dibiarkan. Ada terlalu banyak pertanyaan yang menggantung di antara mereka, terlalu banyak rahasia yang perlu diungkapkan.
Anjas menutup ponselnya dan menatap Neisha, namun tanpa antusiasme, tanpa keterlibatan. “Apa lagi yang harus dibicarakan, Neisha? Semua sudah aku jelaskan. Aku hanya... terseret. Itu kesalahan. Aku minta maaf.” Nada suaranya datar, hampir seolah dia ingin menyelesaikan pembicaraan ini secepat mungkin.
“Terseret?” Neisha mengulang kata itu dengan getir. “Kau tidak terseret, Anjas. Kau memilih untuk berbohong, untuk menyembunyikan sesuatu dariku. Kau memilih untuk menyakiti aku dan anak-anak kita.”
Anjas menatapnya dengan pandangan yang sulit dibaca. “Neisha, apa yang kau inginkan? Apakah kau ingin terus mengungkit hal ini? Aku sudah katakan, aku minta maaf. Kita bisa memperbaiki ini.”
Neisha tersenyum pahit, meski di dalam hatinya ia merasa hancur. “Memperbaiki?” Ia menggelengkan kepala perlahan. “Bagaimana kita bisa memperbaiki sesuatu yang sudah kau hancurkan? Setiap hari, aku melihat kau semakin menjauh. Setiap malam, aku bertanya-tanya apakah ini masih pernikahan atau hanya sisa-sisa dari sesuatu yang pernah ada.”
Anjas terdiam. Untuk sesaat, ruang di antara mereka dipenuhi keheningan yang menyesakkan. Neisha tahu, di balik semua kebohongan dan pengkhianatan ini, ada perasaan yang dulu pernah begitu kuat. Namun sekarang, semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang tertelan oleh kegelapan.