Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #28

Bab 28: Awal dari Kebenaran

"Kebenaran terkadang datang dengan cara yang paling menyakitkan, tetapi hanya dengan kebenaranlah kita dapat membebaskan diri."

**

Neisha duduk di sudut ruang tamu dengan diam, menatap jam dinding yang seolah bergerak lamban, setiap detik berputar seperti detak jantung yang tersendat-sendat. Suara detik jarum jam itu menggema di telinganya, seolah mengiringi ketidakpastian yang semakin hari semakin menyiksa. Ia sudah terbiasa dengan malam-malam seperti ini, malam yang terasa begitu panjang namun penuh kekosongan. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi bayangan Anjas belum juga terlihat.

Perasaan tak tenang merayapi dirinya. Ada sesuatu yang salah, sesuatu yang sejak lama ia coba abaikan demi mempertahankan apa yang ia anggap penting. Demi anak-anak. Demi keluarga yang pernah ia bayangkan sempurna. Tapi sampai kapan ia bisa terus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja?

**

Suara pintu depan berderit pelan. Neisha menoleh, tubuhnya menegang. Anjas masuk dengan langkah lambat, wajahnya tampak lelah namun dingin, seperti tembok yang tidak bisa ditembus. Ia menutup pintu perlahan, tanpa menyadari kehadiran Neisha yang duduk di dalam kegelapan.

"Anjas..." suara Neisha terdengar lembut, hampir berbisik, namun penuh dengan beban. Anjas sedikit terkejut mendengar suaranya. Mata mereka bertemu dalam sekilas, tetapi hanya ada kehampaan di mata Anjas. "Kita harus bicara."

Anjas menghela napas panjang, seolah sudah menduga apa yang akan terjadi. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia melepas sepatu dan berjalan ke sofa, menjatuhkan tubuhnya dengan berat. Neisha bisa merasakan jarak yang tak terlihat namun semakin nyata di antara mereka. Jarak yang bukan sekadar fisik, melainkan perasaan yang perlahan-lahan menjauh, terpisah oleh kebohongan yang kian hari kian menumpuk.

"Apa yang ingin kau bicarakan, Neisha?" Anjas bertanya dengan nada datar, tanpa emosi. Tangannya mengusap wajahnya yang lelah, seolah ingin menghapus semua pertanyaan yang menghantui dirinya.

"Aku ingin tahu," Neisha memulai dengan hati-hati. "Ke mana saja kau pergi selama ini? Kenapa kau semakin sering pulang larut malam? Ada apa, Anjas? Aku... aku butuh jawaban."

Anjas terdiam sejenak, pandangannya lurus ke depan, menghindari tatapan istrinya. Ada sesuatu dalam keheningannya yang membuat hati Neisha semakin berdebar. Kegelapan di antara mereka semakin pekat, seolah ada jurang yang tak bisa mereka seberangi.

"Aku sudah bilang, Neisha," akhirnya Anjas membuka suara, suaranya tenang namun terdengar dingin. "Aku hanya sibuk. Ada banyak hal yang harus aku urus di luar sana. Semua ini demi kita, demi masa depan anak-anak kita."

Neisha menatapnya, merasa kata-kata itu hampa. "Sibuk?" ulang Neisha, suaranya bergetar, antara marah dan kecewa. "Anjas, aku sudah lama merasa ada yang berubah. Setiap malam aku menunggumu, berharap kita bisa bicara, berharap kau akan jujur padaku. Tapi setiap kali aku tanya, kau selalu menghindar. Apa kau pikir aku tidak tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan?"

Anjas menghela napas panjang, matanya masih tak bergerak menatap Neisha. "Apa yang kau inginkan dariku, Neisha? Kenapa kau terus menekanku seperti ini? Aku sudah berusaha keras, aku sudah melakukan yang terbaik untuk kita semua. Tapi kau... kau terlalu berlebihan. Jangan terlalu sensitif."

Lihat selengkapnya