"Ketika luka tak lagi bisa ditutup oleh cinta, maka di sanalah batas akhir sebuah kebersamaan mulai tampak."
**
Malam itu terasa begitu menusuk, dingin mengalir melalui setiap celah jendela, meresap jauh ke dalam tulang, menciptakan perasaan beku di dada Neisha. Di luar, hujan turun perlahan, tiap tetesnya seolah menggambarkan suasana hati yang suram. Jalanan sunyi, hanya ada desahan hujan yang menyisakan jejak pada aspal basah. Namun, ketegangan di dalam rumah jauh lebih mencekam. Suasana tegang seperti awan hitam yang menggelayuti, siap pecah kapan saja. Anjas pulang dengan ekspresi yang tak biasa. Biasanya ia tampak dingin, tak terjangkau oleh emosi. Namun malam ini, matanya menyala, amarah tersirat di sana, membuat dada Neisha bergetar. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar kebohongan atau penghindaran menyelimuti rumah mereka malam itu—sesuatu yang lebih menakutkan.
Neisha duduk di meja makan, jemarinya mencengkeram kuat pinggiran meja, mencoba meredam gemetar yang perlahan merambati tubuhnya. Ada firasat buruk yang bergejolak dalam hatinya, firasat seorang ibu yang tahu bahwa bahaya sedang mendekat. Piring-piring makan malam masih tersusun rapi di atas meja, tak ada yang menyentuhnya, seakan menjadi simbol dari ketidaktenangan yang melanda rumah mereka. Dimas sudah terlelap di kamar, sementara Dendi masih sibuk dengan game di kamarnya. Neisha hanya bisa menunggu, menunggu Anjas mengatakan sesuatu, apapun. Namun mata Anjas terlihat melirik ke arah kamar Dendi yang terbuka, sesaat keheningan mencekam, seolah waktu berhenti berdetak.
Tiba-tiba, suara itu pecah.
"Dendi!" teriak Anjas, nadanya menggema di setiap sudut ruangan, memecahkan keheningan. "Ke sini kamu!"
Dendi, putra sulung mereka yang baru berusia 12 tahun, muncul dari kamarnya dengan wajah pucat dan langkah berat. Mata anak itu memancarkan ketakutan, meski ia mencoba menyembunyikannya di balik sikap tenang yang dipaksakan. Neisha ingin bangkit, ingin melindungi anaknya, namun tubuhnya terasa berat, seperti dibekukan oleh rasa takut yang tak terucapkan. Hanya bisa duduk kaku, menonton dengan napas yang tersangkut di tenggorokan.
Langkah Anjas cepat dan kasar. Tanpa peringatan, tanpa alasan yang jelas, tangannya melayang. Plak! Satu pukulan keras menghantam pipi Dendi, membuat anak itu terjerembab ke lantai. Suara benturan itu seperti ledakan kecil yang mengguncang seluruh jiwa Neisha. Jantungnya terasa berhenti sejenak. Dunia di sekitarnya hancur dalam hitungan detik.
"Anjas!" jerit Neisha, suaranya mengguncang malam. "Apa yang kau lakukan?!"
Dengan cepat, Neisha berlari menghampiri Dendi, menarik tubuh kecil anaknya ke dalam pelukannya. Dendi gemetar, tangisnya tertahan di tenggorokan, matanya penuh ketakutan. Anak itu menangis tanpa suara, tapi Neisha bisa merasakan setiap getaran takut yang mengalir dari tubuh Dendi ke dirinya.
Anjas berdiri di sana, tubuhnya masih bergetar oleh kemarahan yang tampak tak beralasan. Matanya merah, wajahnya kaku penuh kebencian. "Dia harus belajar!" suaranya keras, penuh amarah. "Dia harus tahu kapan dia harus menurut!"
Neisha menggenggam Dendi semakin erat, hatinya terasa hancur. "Menurut? Apa yang dia lakukan, Anjas? Apa yang anak ini lakukan sampai kau tega memukulnya?" suaranya pecah, diwarnai oleh kekecewaan dan marah yang bercampur menjadi satu.
Anjas menggeram, seolah dunia hanya berputar di sekeliling kebenciannya. "Kau selalu membela mereka, Neisha. Kau tidak pernah berpihak padaku. Kau tidak pernah mendengar apa yang aku katakan!"
Kata-katanya menusuk, namun kali ini Neisha tidak bisa diam. Ini bukan lagi tentang mereka berdua. Ini tentang anak-anaknya—anak-anak yang ia lindungi dengan segala kekuatannya, yang ia jaga selama ini di tengah badai hubungan yang kian memburuk. Malam ini, badai itu sudah menghancurkan segalanya, dan Neisha tahu, ia tak bisa lagi membiarkan ini berlanjut.