"Terkadang, kita harus jatuh lebih dalam ke dalam kegelapan untuk menemukan cahaya kebenaran yang sesungguhnya."
**
Dunia Neisha hancur, namun bukan karena tamparan fisik atau ledakan amarah yang melukai tubuh, melainkan oleh kenyataan yang menyerang jiwanya dengan kejam. Malam demi malam berlalu sejak insiden itu, namun rasa sakitnya tak kunjung pudar. Ia berusaha memahami, mencoba mengingat kembali semua hal yang telah dilaluinya bersama Anjas, mencari tahu apa yang telah ia lewatkan. Seperti seseorang yang tersesat dalam mimpi buruk yang tak pernah berakhir, Neisha terseret lebih dalam ke dalam kegelapan pikirannya sendiri.
Neisha terbangun di suatu pagi, lelah dari malam-malam tanpa tidur. Ia berdiri di depan cermin, melihat bayangannya yang tampak rapuh dan lelah. Wajah yang dulunya penuh harapan dan cinta, kini terlihat suram, seperti sisa-sisa dari seorang wanita yang pernah ada. Namun di balik mata yang memancarkan kesedihan, ada kemarahan yang semakin hari semakin sulit dikendalikan.
"Bagaimana bisa aku dibohongi selama ini?" pikir Neisha dalam diam. Ia mengingat kembali kata-kata Anjas, janji-janji manis yang dulu pernah membuatnya percaya bahwa cinta mereka akan bertahan selamanya. "Semua ini tidak mungkin nyata. Tapi... bagaimana jika itu memang benar?"
Dalam ketidakpastian yang membelenggu, Neisha memutuskan untuk melakukan sesuatu yang selama ini ia hindari. "Aku harus tahu kebenaran," gumamnya dengan suara pelan namun penuh tekad. "Walau kebenaran itu mungkin akan menghancurkanku lebih jauh."
Dengan perasaan yang tak tentu, Neisha mulai menyelidiki kehidupan Anjas selama tujuh tahun ia menghilang. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seperti berjalan di atas pecahan kaca. Ia mulai mencari petunjuk, menghubungi orang-orang yang pernah mengenal Anjas, dan tak lama kemudian, kebenaran mulai terbuka seperti luka yang menganga.
**
Suatu sore, Neisha menerima sebuah pesan dari seorang kenalan lama Anjas, seorang pria yang pernah bekerja dengannya sebelum ia menikah dengan Neisha. Neisha membaca pesan itu dengan tangan gemetar, setiap kata seakan mengiris hatinya lebih dalam. "Anjas... sudah punya keluarga sebelum menikah denganmu. Dia... tak pernah benar-benar meninggalkan mereka. Kalian hanyalah bagian dari kebohongannya yang lebih besar."
Dunia Neisha runtuh dalam sekejap. Ia merasa seperti dipukul oleh badai yang tak bisa dilihat, terdorong jatuh oleh angin kencang yang tak terlihat. Hatinya hancur berkeping-keping. Segala sesuatu yang ia pikir ia ketahui tentang Anjas kini terasa seperti kebohongan yang dipenuhi oleh penipuan. Selama ini, semua pengorbanannya, cintanya, dan kesetiaannya ternyata hanya menjadi bagian dari permainan kotor yang dimainkan Anjas dengan ahli.
"Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku?" bisik Neisha pada dirinya sendiri, suaranya serak oleh emosi yang berkecamuk. "Selama ini... aku hanya menjadi bayangan dalam hidupnya. Sementara dia... dia memiliki kehidupan lain yang tak pernah aku ketahui."
**
Di dalam ruang tamu yang sunyi, Neisha duduk terdiam. Pikirannya berputar, mengulang-ulang kata-kata yang baru saja ia baca. Semuanya mulai masuk akal sekarang—ketidakpastian Anjas, kepergiannya yang tanpa alasan jelas, sikapnya yang semakin menjauh dari anak-anak mereka. Neisha mulai menyadari bahwa Anjas tak pernah benar-benar ada di sana untuk mereka. Kehadirannya hanya bayangan, seperti ilusi yang dengan licik disembunyikan di balik senyuman dan kata-kata manis.
"Anjas, apa yang sudah kau lakukan?" suara Neisha hampir tak terdengar, hanyut dalam tangis yang tak bisa ia bendung. Air matanya mengalir deras, membawa serta rasa sakit yang selama ini ia pendam dalam hati.