Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #31

Bab 31: Pertarungan Terakhir

"Ketika semua telah terungkap, hanya ada dua pilihan: melawan atau menyerah, dan melawan berarti memilih untuk hidup."

**

Dalam sunyinya malam yang pekat, ketika dunia tampak terlelap dalam diam, Neisha justru berperang dengan dirinya sendiri. Di atas ranjang yang dingin dan tak bernyawa, ia menatap langit-langit kamar, seolah mencari jawaban yang tak pernah datang. Keheningan di sekelilingnya terasa bersatu dengan retakan di hatinya—patah, hancur, dan terluka. Namun di balik reruntuhan jiwanya, ada sesuatu yang diam-diam tumbuh, seperti bara kecil yang lambat laun menjelma menjadi api. Bukan hanya sekadar kemarahan, tetapi amarah yang lahir dari penghinaan bertahun-tahun, dari luka-luka yang tak pernah terlihat, namun terukir dalam di jiwanya.

Hari ini, ia tahu, adalah titik akhir. Bukan hari yang biasa. Ini adalah hari di mana segalanya akan berubah. “Hari ini semuanya akan selesai,” pikirnya, dengan keyakinan yang mengguncang seluruh tubuhnya. Ini adalah hari di mana ia harus menghadapi Anjas—pria yang pernah ia percayai lebih dari siapa pun, pria yang telah ia cintai lebih dari dirinya sendiri. Dan kini, pria yang telah menghancurkan hatinya dengan kebohongan-kebohongan yang begitu menyakitkan.

Neisha menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan berat. “Aku tak bisa terus begini,” gumamnya, suaranya serak tapi mantap. Ada getar dalam nada suaranya, campuran antara kepedihan dan kekuatan yang baru ia temukan.

Ia duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya melayang, menelusuri jejak kenangan. Seolah menonton ulang potongan-potongan hidupnya, dari tawa bahagia hingga kebisuan yang mencekam, semua bermuara pada saat-saat pengkhianatan yang menghancurkan hatinya. Setiap tawa kini terasa seperti duri, setiap janji seperti omong kosong yang tak pernah ia pahami sepenuhnya. Cinta yang dulu membuatnya hangat, kini menjelma luka yang membekas dalam dan tak kunjung sembuh.

Dengan mata berkaca-kaca, Neisha menggeleng pelan. Ia tak ingin lagi larut dalam rasa sakit itu. Bukan sekarang, bukan lagi. "Ini harus berakhir," desahnya, suaranya berbisik lembut namun penuh tekad. Seakan kata-kata itu bukan hanya ditujukan pada ruang kosong di sekitarnya, tapi juga langsung ke dalam hatinya sendiri, sebagai janji yang tak bisa lagi ia abaikan.

“Bukan demi dia…,” Neisha menelan ludah, merasakan pahitnya realitas yang menghantam. “Ini semua demi aku. Dan anak-anak kita.” 

Kata-kata itu menggema dalam dirinya, menggumpal menjadi kekuatan yang semakin membesar. Sebuah keputusan akhir yang tak bisa lagi ia tunda. Neisha tahu, kali ini ia tak boleh ragu. Kali ini, ia harus memilih dirinya sendiri.

**

Malam itu, ketika Anjas akhirnya melangkahkan kakinya ke dalam rumah, Neisha sudah berdiri menunggunya. Tubuhnya terlihat ringkih, namun di balik mata yang lelah dan sayu, ada api yang berkobar—api keberanian yang tak pernah Anjas lihat sebelumnya. Ruang tamu, yang dulu dipenuhi dengan tawa manis dan canda ringan, kini terasa sesak oleh ketegangan yang menggantung di udara, bagaikan medan perang tanpa kata-kata. Hanya detik jarum jam yang terdengar, menciptakan irama sunyi yang memekakkan telinga.

Anjas mendekat dengan langkah berat, membawa beban yang ia tahu tak lama lagi akan meledak. Wajahnya memancarkan kegelisahan yang jelas, seakan merasakan badai yang siap menerjang. Di hadapannya, Neisha berdiri kaku, kedua tangannya menggenggam erat pinggiran kursi, berusaha mempertahankan sisa-sisa ketenangannya. Namun hatinya, yang dulunya berdebar karena cinta, kini berdegup kencang oleh tekad yang bulat—tekad untuk menghadapi kenyataan pahit yang selama ini ia tutupi.

“Kita perlu bicara,” suara Neisha terdengar lirih, hampir berbisik, namun tak bisa disembunyikan getar di dalamnya. 

Anjas berhenti, tatapannya kosong. Dia menatap Neisha dengan alis berkerut, menyadari bahwa sesuatu yang besar dan tak bisa dihindari telah terjadi. "Ada apa, Neisha? Kenapa kau begitu... berbeda?"

Neisha menghela napas panjang, berusaha menahan tangis yang menyesakkan dadanya. "Aku tahu semuanya, Anjas," ucapnya pelan, namun cukup tajam untuk menghujam. "Tentang keluarga lainmu. Tentang kebohonganmu yang selama ini kau tutupi. Aku tahu alasan sebenarnya kenapa kau kembali."

Kata-kata Neisha bagaikan belati yang menyayat tepat di jantung Anjas. Wajahnya mendadak pucat, namun ia mencoba menutupi kepanikannya dengan tawa getir yang tak meyakinkan. "Kau salah paham, Neisha. Apa maksudmu? Aku... aku tak tahu apa yang kau bicarakan."

"Jangan berpura-pura lagi, Anjas." Neisha menggeleng pelan, air mata yang berusaha ia tahan kini mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku sudah menemukan segalanya. Semua bukti, surat-surat, foto-foto... semuanya. Kau tak bisa bersembunyi lagi."

Lihat selengkapnya