"Setiap perpisahan menyimpan luka, tetapi juga membawa harapan baru di balik tirai kesedihan."
**
Angin malam menyusup perlahan, seperti bisikan halus yang merambat melalui celah jendela, membawa dingin dan keheningan yang menggema dalam hati Neisha. Berdiri di tengah kamar, tempat yang selama ini menjadi saksi bisu cinta, tawa, air mata, dan luka pengkhianatan, ia menatap koper di depannya. Setengah terisi, benda itu menjadi simbol dari keputusan yang kini tak lagi bisa ia hindari, meski hatinya masih terselubung ketakutan. Waktu ini, momen ini—meski ia sudah lama tahu akan datang, tetap saja meninggalkan rasa yang begitu menyesakkan.
Di kamar sebelah, Dendi dan Dimas tertidur lelap, tak terganggu oleh badai yang mengguncang kehidupan mereka. Wajah mereka begitu damai, seolah-olah tidak ada yang berubah. Tapi di mata Neisha, setiap tarikan napas anak-anaknya membuat dadanya semakin sesak. "Apa yang aku lakukan ini... bagaimana mereka akan melihatku nanti?" pikirnya, sembari menahan air mata yang sudah sejak tadi mendesak ingin tumpah.
Tangannya gemetar saat ia meraih pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. Setiap lipatan kain terasa seperti sebuah kenangan yang kini harus ia lepaskan, satu per satu. Tidak ada lagi ruang untuk ragu, namun setiap gerakan terasa berat, seolah ada kekuatan tak terlihat yang berusaha menahannya. "Apakah aku benar-benar bisa meninggalkan semua ini?" pikirnya. Tapi di lubuk hatinya yang paling dalam, ia tahu jawabannya.
"Aku tidak bisa... aku tidak bisa membiarkan mereka tumbuh dalam kebohongan ini," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun.
Sebuah helaan napas panjang meluncur keluar dari bibirnya. "Mengapa cinta berubah menjadi begini? Mengapa orang yang dulu penuh cinta kini hanya membawa luka?" gumamnya pelan, seolah berbicara pada kesunyian. Di keheningan malam itu, Neisha menyadari bahwa tak ada lagi yang bisa dilakukan. Anjas telah memilih jalannya sendiri, dan kini, dia pun harus memilih jalannya.
Langkah berat terdengar dari ruang depan, suara yang sudah begitu dikenalinya. Langkah-langkah itu bergerak mendekat, lambat dan penuh beban, hingga berhenti di depan pintu kamar. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Anjas yang berdiri di ambang, wajahnya penuh lelah, namun pandangannya kosong. Ada kesadaran dalam tatapan itu—kesadaran bahwa malam ini adalah akhir dari segalanya.
"Kau akan benar-benar pergi?" tanyanya dengan suara parau, serak oleh rasa perih yang coba ia tahan. Tidak ada permohonan, tidak ada tangisan histeris untuk memintanya tetap tinggal. Mungkin, di dalam hatinya yang terdalam, Anjas juga tahu bahwa ini sudah berakhir.
Neisha menatapnya, matanya berkaca-kaca. Betapa banyak kata yang ingin ia ucapkan, namun semuanya terasa tersangkut di tenggorokan, tak mampu keluar. Semua kebohongan, semua janji yang tak lagi ada artinya, semuanya telah mengikis apa yang dulu mereka miliki.
"Ya, Anjas," jawab Neisha akhirnya, suaranya hampir hilang dalam kesedihan. "Aku harus pergi. Ini bukan lagi tentang kita. Ini tentang aku... dan anak-anak kita. Aku tak bisa lagi hidup dalam kebohonganmu. Aku tak bisa membiarkan mereka tumbuh di dalamnya."
Anjas terdiam. Ia menunduk, mungkin berharap ada kata-kata yang bisa memperbaiki semuanya, tapi ia tahu dalam hatinya, tak ada kata yang cukup kuat untuk mengubah keputusan Neisha. "Aku tahu... aku sudah banyak salah," ucapnya pelan, nyaris seperti gumaman. "Tapi aku pikir... kita masih bisa mencoba memperbaikinya."