"Kebebasan sejati bukanlah tentang berlari menjauh dari rasa sakit, tetapi memilih untuk tidak lagi membiarkan diri terkurung dalam derita."
**
Saat pertama kali memasuki rumah baru, Neisha menutup pintunya dengan lembut, namun suara pintu yang tertutup itu terasa seperti gema dari kebebasan yang lama hilang dalam hidupnya. Saat itu juga, ia tahu bahwa babak kelam yang selama ini membayangi, telah ia tinggalkan. Udara segar dari kota kecil yang kini menjadi tempat tinggal mereka, mengalir masuk, mengisi relung jiwanya yang dulu terasa hampa, seakan memberikan napas baru yang begitu ia rindukan.
Rumah itu tak besar, tak mewah, tetapi di sinilah Neisha untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, merasa hidup. Ada keheningan di sini, keheningan yang berbeda—keheningan yang damai, tanpa tekanan, tanpa kebohongan, tanpa rasa takut. Dendi dan Dimas, kedua anak yang menjadi alasan utamanya bertahan, masih mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru ini. Namun, dari tatapan mata mereka, Neisha bisa melihat mereka mulai memahami, bahwa hidup mereka kini berubah.
Sambil duduk di meja dapur yang sederhana, ditemani secangkir teh hangat, ia berbisik pada dirinya sendiri, “Ini hidup baru kita.” Pandangannya tertuju keluar jendela, menyaksikan pemandangan alam yang luas membentang di hadapannya. Pepohonan yang bergoyang lembut, kicauan burung, dan semilir angin yang menyapa dedaunan, semua itu seolah menyapa dengan kedamaian yang baru. Namun di balik ketenangan itu, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Kenangan tentang hidup yang ia tinggalkan terasa begitu dekat.
“Apakah aku egois?” tanyanya dalam hati. “Bisakah anak-anakku mengerti bahwa semua ini aku lakukan demi mereka?” Pertanyaan itu berulang kali mengusik, namun untuk pertama kalinya, hatinya menjawab dengan tegas. "Tidak, ini bukan egoisme. Ini tentang memberikan mereka kesempatan untuk hidup dalam kebenaran, tanpa kebohongan, tanpa luka yang tersembunyi.”
Pagi demi pagi, Neisha belajar mencintai rutinitas barunya. Menyiapkan sarapan untuk Dendi dan Dimas, membangunkan mereka dengan senyum yang tulus, menikmati keheningan yang melingkupi rumah ini. Dendi dan Dimas mulai bersekolah di tempat baru dan wajah mereka tampak lebih cerah, bebas. Mereka tertawa tanpa rasa takut, bermain tanpa bayangan kecemasan yang dulu selalu ada.
Namun, kebebasan yang Neisha rasakan tidak tanpa beban. Setiap malam, setelah anak-anaknya tertidur lelap, ia duduk di beranda. Di bawah langit malam yang tenang, pikirannya kembali berkelana ke masa lalu—ke keputusan-keputusan sulit yang mengubah arah hidupnya.
"Anjas… Aku masih belum bisa memahami semuanya," gumamnya pelan, seperti berbicara pada bayangan Anjas yang tak lagi ada. "Bagaimana bisa perhatianmu yang dulu lembut, berubah menjadi racun yang mematikan?"
Ia mengingat hari-hari mereka berdua saat umrah. Perasaan damai yang dulu hadir, senyum yang dulu mereka bagi, kini berubah menjadi kenangan pahit. Setiap kali ingatan tentang cinta mereka datang, Neisha juga teringat kebohongan demi kebohongan yang Anjas sembunyikan. Cinta yang dulu ia kira suci, ternyata penuh dengan pengkhianatan dan kepalsuan.
"Cinta yang kamu katakan tulus ternyata hanya permainan kata, Anjas. Bukan cinta sejati seperti yang selalu kamu bisikkan padaku," gumam Neisha dengan lirih, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Cinta sejati seharusnya tentang kejujuran, saling menjaga, dan kebahagiaan, bukan luka yang kau tutupi dengan senyum palsu."
Malam itu, untuk pertama kalinya, Neisha membiarkan air matanya jatuh tanpa rasa malu. Itu bukan air mata kelemahan, tetapi air mata penyembuhan. Ia sadar, perjalanan baru ini memang berat, tetapi ia sudah berada di jalan yang benar. Di rumah yang sederhana ini, dengan anak-anak yang ia cintai, ia tahu, bahwa akhirnya, mereka akan menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.
**
Pagi itu, suasana di halaman kecil rumah terasa tenang. Neisha sedang memetik bunga, jemarinya dengan lembut merasakan kelopak-kelopak halus, ketika Dimas, anak bungsunya, menghampiri dengan langkah-langkah kecil. Ada sesuatu di wajahnya yang tampak begitu penuh rasa ingin tahu, matanya memancarkan sinar yang polos, namun dalam kilau cerah itu, Neisha melihat dirinya sendiri—seakan cerminan masa lalu yang penuh harap dan asa.
"Bunda, apakah kita akan tinggal di sini selamanya?" Suara Dimas memecah keheningan, lembut dan jujur. Tatapan polosnya tertuju pada ibunya, penuh harapan yang menunggu jawaban.