"Luka hati tidak sembuh seketika. Ia butuh waktu, keberanian, dan kesabaran untuk menemukan cahaya di ujung kesedihan."
**
Angin malam yang lembut menyapu wajah Neisha, membelai lembut kesunyian yang mengelilinginya. Seperti malam-malam sebelumnya, ia duduk di beranda, hanya ditemani langit malam yang dipenuhi ribuan bintang. Di depannya, halaman kecil tampak tenang dan sunyi, seolah menjadi tempat pelarian dari keramaian hidup yang dulu pernah ia jalani. Namun di balik ketenangan itu, ada gelombang rasa sakit yang masih samar-samar terasa, seolah luka-luka masa lalu belum sepenuhnya sembuh. Meski perlahan mengering, nyerinya tetap kadang menyelinap di antara kedamaian yang ia cari.
Dengan lembut, Neisha meremas cangkir teh yang ia genggam, berharap kehangatan yang merambat dari sana bisa memberinya kekuatan. “Kenapa rasa ini tak juga hilang?” gumamnya pelan, hampir tak terdengar. "Aku butuh waktu... ruang... dan keberanian,” tambahnya dengan suara yang pecah di tengah keheningan malam.
Malam seperti ini sering membawanya kembali ke masa lalu—masa-masa yang ingin ia lupakan, tapi terus menghantuinya. Kenangan tentang Anjas, tentang janji-janji yang terucap dalam pernikahan mereka, dan tentang kebohongan-kebohongan yang mengikat hidupnya dalam kegelapan. Meski sekarang ia sudah jauh dari bayang-bayang itu, luka dari pengkhianatan Anjas masih tertinggal, seperti duri yang menancap di hati, menyakitkan meski tak terlihat.
Neisha mendongak, menatap langit yang penuh bintang, seolah mencari jawaban dari semesta. Tetapi, yang ia temukan hanyalah keheningan, sunyi yang semakin mempertegas kesepiannya. Namun, suara kecil dari belakang memecah kesunyian itu.
“Bunda, belum tidur?” suara Dendi terdengar lembut, nyaris khawatir.
Neisha menoleh dan mendapati anak sulungnya berdiri di ambang pintu. Matanya sedikit sembap karena kantuk, namun ada sorot kekhawatiran yang terpancar dari wajah polosnya. "Kenapa Bunda duduk sendirian lagi?" tanyanya sambil berjalan pelan menghampiri, kemudian duduk di samping ibunya.
Neisha tersenyum tipis, meski dalam hatinya ada rasa perih yang kembali menyelinap. Ia mengusap lembut rambut Dendi yang mulai tumbuh panjang. "Bunda hanya sedang berpikir, Sayang. Ada banyak hal yang Bunda pikirkan."
Dendi menatap ibunya dengan tatapan yang dalam, penuh pengertian meski usianya masih begitu muda. "Bunda selalu bilang kalau kita harus kuat," ujar Dendi pelan, namun tegas. "Tapi Dendi merasa... Bunda masih terus sedih. Seolah Bunda nggak bisa lepas dari masa lalu."
Kata-kata Dendi menusuk hati Neisha seperti duri yang menyentuh luka lama. Ia tak pernah menyangka anaknya yang masih belia bisa membaca kesedihan yang ia sembunyikan begitu dalam. Tatapan matanya beralih, menatap wajah Dendi yang mulai menampakkan tanda-tanda kedewasaan. “Bunda memang masih terluka, Nak,” jawab Neisha akhirnya, suaranya penuh kejujuran yang selama ini ia tahan. “Tapi Bunda berusaha, sungguh... Bunda sedang mencoba sembuh.”
Dendi mengangguk perlahan, meski mungkin belum sepenuhnya memahami betapa dalam luka itu tertanam. Namun, dengan kebijaksanaan yang tak terduga dari anak seusianya, ia menggenggam tangan ibunya. “Bunda nggak sendirian,” ucapnya pelan, seolah ingin menguatkan ibunya dengan kehadiran kecilnya. "Aku dan Dimas selalu ada buat Bunda."
Neisha merasakan hatinya mencair, terisi oleh cinta yang begitu tulus dari anak-anaknya. Air mata yang ia tahan sejak lama akhirnya jatuh, membasahi pipinya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa mereka—Dendi dan Dimas—adalah alasan mengapa ia tetap bertahan. Mereka adalah kekuatannya, cahaya yang menjaga langkahnya di tengah kegelapan.
“Terima kasih, Nak,” bisiknya dengan suara bergetar, mencium kepala Dendi dengan penuh kasih sayang. “Bunda sangat beruntung punya kalian.”
Di malam yang sunyi itu, Neisha tahu bahwa meskipun luka-luka di hatinya belum sepenuhnya hilang, cinta anak-anaknya akan selalu menjadi pengobat yang perlahan menyembuhkan segala perih.
**
Keesokan harinya, pagi menyambut dengan lembut, cahaya matahari menembus jendela dan menghangatkan hati Neisha yang tengah bergejolak. Dengan satu tarikan napas panjang, ia memutuskan untuk memulai babak baru dalam hidupnya, meninggalkan beban masa lalu. Setelah menyiapkan sarapan untuk Dendi dan Dimas, Neisha berjalan ke rak buku yang telah lama terlupakan. Tangannya terhenti di sebuah buku yang sudah berdebu, Dream Catcher, yang dulu pernah menjadi sumber inspirasinya. Seolah tersadar, Neisha memahami bahwa ada banyak impian yang telah ia lupakan, mimpi yang pernah membakar semangatnya, tapi kini terbenam dalam rutinitas pernikahan yang hampa.