Air Mata di Ujung Kiblat

Jiebon Swadjiwa
Chapter #35

Bab 35: Babak Baru

"Setiap akhir adalah awal yang baru, dan setiap permulaan membawa harapan yang belum terwujud."

**

Langit sore di kota kecil tempat Neisha dan anak-anaknya tinggal perlahan berubah menjadi kanvas oranye yang lembut, seakan alam sedang menceritakan kisah-kisah lama yang tersembunyi dalam diam. Setahun telah berlalu sejak perpisahan pahit dengan Anjas, dan meski waktu terasa begitu lamban dalam menyembuhkan luka, perlahan, Neisha dan anak-anaknya mulai menemukan titik di mana mereka bisa tersenyum tanpa beban mendalam di baliknya.

Di meja makan yang sederhana, Neisha duduk dengan tatapan jauh, menembus jendela kecil yang menyuguhkan pemandangan langit senja. Tirai tipis berkibar perlahan saat angin membawa aroma tanah basah, mengingatkannya bahwa hidup selalu bergerak maju, tak peduli seberapa keras ia ingin bertahan di masa lalu. Dahulu, pada jam-jam seperti ini, air mata adalah satu-satunya teman yang setia, meratapi pernikahan yang retak. Namun kini, ada kedamaian yang perlahan menyusup, mengisi relung hati yang dulu begitu terluka.

"Bunda, sudah selesai masaknya?" Dendi, anak sulungnya, muncul di ambang pintu dapur dengan senyum lebar yang membuat wajahnya tampak dewasa sebelum waktunya.

Neisha tersenyum, menatap anaknya yang semakin hari semakin menyerupai pria dewasa. "Sudah, sayang. Bunda masak nasi goreng kesukaanmu."

Tanpa ragu, Dendi mendekat dan mencium pipi ibunya. "Terima kasih, Bunda. Dendi lapar banget habis latihan basket."

Neisha mengangguk sambil menyembunyikan perasaan haru yang tiba-tiba membanjiri hatinya. Kehidupan yang mereka jalani sekarang berbeda. Tanpa Anjas, rumah ini terasa lebih damai, lebih hidup. Dendi mulai menonjol di sekolah, dengan nilai yang membanggakan dan aktivitas yang terus ia geluti. Dimas, si bungsu, semakin ceria dan penuh tawa, seolah-olah beban yang dulu menekan kehidupan mereka telah lenyap bersama bayang-bayang masa lalu.

Namun di balik semua ketenangan itu, Neisha tahu—hidup selalu menyimpan babak-babak baru yang siap menghampiri tanpa peringatan. Dan ia, seperti biasa, harus bersiap menghadapi apapun yang datang.

Malam itu, setelah memastikan anak-anaknya tertidur pulas, Neisha menyelinap ke ruang kerjanya yang kecil. Di atas meja kayu tua, sebuah buku yang sudah lama tak ia sentuh tergeletak—Dream Catcher. Buku yang dulu menjadi sahabat setia saat ia tenggelam dalam pernikahan yang hampa. Perlahan, ia mengambilnya dan membuka halaman-halaman yang mulai menguning, membacanya seperti berbincang dengan sahabat lama.

"Mimpi adalah jaring kehidupan, menangkap setiap harapan yang terbang di sekeliling kita."

Lihat selengkapnya