"Kadang, pertemuan yang paling berarti terjadi dalam keheningan, di mana tak ada kata yang perlu diucapkan."
**
Momen Lain di Toko Buku pada BAB 3
Matahari perlahan tenggelam di balik jendela kaca toko buku kecil itu, memancarkan sinar keemasan yang menerobos di antara rak-rak buku yang berjajar rapi. Distyan Saneldye, penulis buku Dream Catcher, duduk di sudut ruangan dengan tenang, memegang secangkir kopi hangat yang sudah mulai dingin. Sore itu, seperti sore-sore sebelumnya, ia datang ke toko ini bukan hanya untuk menghabiskan waktu, tapi untuk menyaksikan bagaimana karyanya diterima oleh orang-orang. Setiap buku yang ia tulis, baginya, bukan sekadar hasil karya, melainkan bagian dari jiwanya yang ia bagi kepada dunia.
Hari itu, suasana toko buku terasa lebih sunyi dari biasanya. Namun, ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Di sudut ruangan, di dekat rak buku fiksi, seorang wanita berdiri sambil membolak-balik halaman sebuah buku. Matanya memandang dengan seksama, menyusuri setiap kata yang tertulis di sana. Buku itu adalah Dream Catcher—karya yang ia tulis dengan begitu banyak emosi, terinspirasi dari kisah-kisah yang ia kumpulkan, termasuk satu kisah yang begitu dekat dengan hatinya.
Wanita itu adalah Neisha—sosok yang diam-diam telah menjadi pusat dari setiap kata yang ia tuliskan. Distyan mengenalnya, meski hanya dari kejauhan. Neisha adalah model online shop yang sering ia lihat di media sosial. Wajahnya yang anggun, matanya yang dalam, dan senyum tipis yang selalu menyiratkan kesedihan tersembunyi, entah bagaimana selalu menarik perhatian Distyan. Ia tak pernah berani mendekat, namun tanpa ia sadari, kisah hidup Neisha dan kekaguman padanya telah menjadi inspirasi besar di balik lahirnya Dream Catcher.
Dan sekarang, Neisha ada di depannya, bukan sekadar bayangan di layar atau mimpi yang sering terjadi, melainkan nyata, berdiri di hadapan rak buku yang sama. Distyan merasa seluruh dunianya bergetar. Ia ingin melangkah mendekat, ingin mengucapkan sesuatu—entah apa, tapi lidahnya kelu, tubuhnya seakan membeku. Semua keberanian yang biasanya ia miliki dalam merangkai kata-kata di atas kertas, mendadak menghilang saat ia melihat sosok Neisha yang begitu nyata.
Neisha membuka halaman pertama buku itu, dan di saat yang sama, Distyan merasakan getaran yang aneh di dadanya. Ia tahu apa yang ada di halaman itu—monolog yang ia tulis dari lubuk hati terdalamnya.
“Kehilangan itu bukan tentang berpisahnya dua jiwa, tapi tentang kehampaan yang tak bisa diisi oleh apa pun, meski waktu terus berjalan.”
Neisha membaca kalimat itu dengan perlahan. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang menyentuh hati Neisha. Ia merasa, buku ini bukan sekadar buku biasa. Kata-katanya terasa begitu dekat dengan perasaannya, seolah-olah sang penulis tahu persis apa yang ia alami—rasa sakit yang ia simpan jauh di dalam hatinya, rasa kehilangan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun. Buku ini seakan berbicara padanya, menjadi sahabat dalam kesepian yang selama ini tak pernah ia temukan.
Melihat itu, Distyan berinisiatif menghampiri salah seorang penjaga dan bertukar pakaian lalu melakukan penyamaran untuk mendekati Neisha, kemudian mempromosikan bukunya.
"Itu buku yang sangat bagus," ucap Distyan senyumnya hangat hatinya berdenyut dengan penuh getaran. "Saya membacanya beberapa bulan yang lalu. Itu mengubah cara saya melihat kehidupan."
Neisha menatap pria itu, merasa seolah ada koneksi di antara mereka. "Kau juga mengalami kehilangan?" tanyanya, tanpa ragu.