AIR MATA IBLIS

Kakco
Chapter #1

BAB 1 Diambang Kematian

Aku adalah Kanaya, seorang wanita pada tahun 3035 ini aku berusia 21 Tahun, aku anak pertama dari dua bersaudara. Adikku, Pandu, baru berusia 10 tahun, seorang bocah laki-laki yang selalu ceria dan penuh perhatian padaku. Aku lulus sebagai mahasiswi terbaik dari salah satu perguruan tinggi 1

Menurut para mantanku, aku adalah wanita yang cerdas, ceria, cantik dan sexy seperti gitar spanyol. Namun, di balik pujian itu tersembunyi kenyataan pahit. Aku telah menjadi piala bergilir bagi mereka. Seperti bunga yang diperas sarinya, mereka menikmati tubuhku, lalu membuangku begitu saja setelah bosan.

Aku hanya memiliki tiga mantan pacar. Namun, ketiganya cukup untuk membuatku percaya bahwa aku selalu sial dalam urusan cinta. Aku dikhianati, dipermainkan, dan pada akhirnya, ketika aku mengandung, mantan terakhirku menyiksaku hingga mengalami pendarahan dan keguguran.

Aku terbaring di rumah sakit selama beberapa hari. Bodohnya aku, ketika orang tuaku bertanya tentang kondisiku, aku hanya berkata bahwa aku kelelahan. Aku masih memegang harapan bahwa mantan terakhirku akan menikahiku setelah aku tak lagi mengandung. Namun, seminggu setelah keluar dari rumah sakit, aku melihatnya bergandengan tangan dengan wanita lain.

Ketika aku menanyakan siapa wanita itu, dengan enteng dia menjawab bahwa itu adalah kekasihnya. Baginya, aku tidak lebih dari sekadar barang bekas, sesuatu yang hanya layak dinikmati dan dibuang setelah usang.

"Bangsat!" Itu satu-satunya kata yang mampu keluar dari bibirku sebelum tamparan keras mendarat di wajahku. Darah mengalir dari sudut bibirku, tetapi rasa sakit fisik itu tak sebanding dengan luka di hatiku.

Dalam keputusasaan, aku melangkah menuju Pelabuhan Ratu dan aku bermonolog didalam hati ku seperti orang gila.

“Untuk yang ke tiga kalinya, aku kalah dalam percintaan. Rasanya tak ingin lagi berlari mengejar cinta!”

“Dunia seakan-akan bagai didalam Neraka, panasnya meleburkan membakar semua angan. Perih terasa merobek dada, menikam dan mencabik dada. Hancurkan ku dan hentikan detak jantung ku!”

“Harus selalu ku rasa kalah dalam soal percintaan, yang tak pernah lepas dari alur kehidupan ku!”

“Takan henti ku bertanya semua mungkin salah ku?”

“sampai mati ku bertanya, mungkin semua sudah takdir ku!”

Lautan yang luas seolah menjadi pelarian terakhirku. Aku ingin menghilang, tenggelam di kedalaman samudra, di mana tidak ada lagi rasa sakit, tidak ada lagi rasa malu saat memandang wajah kedua orang tuaku. Namun, ketakutan menyelip di hatiku. Pandu...aku tidak bisa membayangkan meninggalkannya sendirian dan membiarkan kedua orang tua ku memikirkan biaya pendidikan Pandu ketika Pandu duduk di bangku kuliah seperti ku.

Bapak ku akan pensiun dalam dua tahun lagi, sedangkan ibu ku hanya ibu rumah tangga. Mereka bilang tidak perlu khawatir soal pendidikan Pandu, tetapi aku tahu mereka tidak muda lagi. Aku ingin memastikan Pandu bisa menyelesaikan sekolahnya hingga menjadi sarjana, dan aku ingin melihat kedua orang tuaku bahagia. Namun, peristiwa sore ini membuatku merasa begitu hina. Keinginan untuk membunuh William membuncah di dadaku, ingin aku membuatnya merasakan kehancuran yang dia timpakan padaku.

Tanpa kusadari, aku sudah berdiri di ujung dermaga. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan hampir tidak ada orang di sekitarku. Dalam benakku, terlintas satu pikiran gila.

Lihat selengkapnya