Air mata istri

Mawar Hitam
Chapter #2

2# Arisan Keluarga

Pukul 10.00 pagi tepatnya di hari Minggu, rumah kediaman keluarga Fatimah dan Yusuf begitu sangat ramai sekali. Beberapa sanak saudara telah berdatangan. Hari ini giliran keluarga mereka sebagai tuan rumah di arisan keluarga besar.

“ Desi!”

“Eh, Mbak Amira. Gimana nih kabarnya?”

“Kabarku baik-baik aja, Des. Oh iya gimana menantu kamu udah isi belum?”

Desi menatap wajah Amira yang tampak lesu." Ya gitu deh. Belum ada tanda-tanda tuh dari si Fatimah.”

“Wah, jangan-jangan anak kamu dapat istri yang zonk. Bisa jadi si Fatimah itu kategori perempuan mandul.”

Fatimah tidak sengaja untuk mendengarkan percakapan antara ibu mertuanya dengan budenya. Dia merasa cukup tersayat hatinya ketika mendengarkan sebuah kata-kata sakral terucap dari mulut budenya. Dia kebetulan sedang membawa satu nampan minuman untuk beberapa keluarga yang sudah berdatangan.

“Des, anak aku aja baru nikah setahun udah punya anak nih. Lihat anaknya lucu kan,” ujar Amira sambil menunjukkan ke arah jarum jam tiga.

“ Ya ampun. Amira Amira. Kamu itu kok bangga banget sih punya anak yang hamil diluar nikah. Iya pantes aja kamu cepat punya cucu, bukannya anak kamu dan suaminya berinvestasi dulu sebelum menikah. "Celetuk Rumini sambil menahan tawa. “Masih mending si Fatimah. Walaupun dia masih susah hamil, setidaknya dia masih memiliki kehormatan dan kesucian di mata Allah. Dibandingkan dengan anak kamu itu yang nggak punya malu di mata Allah.”

Amira merasa tersulut emosi. Lalu dia mulai berkata, "Ya masih mending lah. Daripada anak kamu yang perawan tua sampai sekarang. "

“Iya masih mendinglah. Daripada menikah karena terpaksa. Ya kalau nggak ada kejadian yang tak diinginkan, kemungkinan besar ya nggak mungkin kamu nikahin anak kamu semudah itu," sewot Rumini dengan kata-kata sakralnya. “Masih mending lah. Daripada anak kamu itu yang ternyata hamil diluar nikah dengan pria yang udah punya istri. Aduh malu banget deh jadi orang tuanya. Amit-amit.”

Sinta datang untuk menyudahi perdebatan antara ibunya dengan tantenya. Lalu dia mulai berkata, "Apakah sebuah kesalahan seseorang yang lebih memilih untuk mencari pasangan di waktu yang tepat, dibandingkan di waktu yang salah? Bukankah menikah itu adalah sebuah ibadah bukan sebuah perlombaan?" Dia mulai menatap wajah Amira yang tampak begitu sangat sewot sekali. "Kalau aku menikah dengan orang yang salah, apakah Tante Amira mau bertanggung jawab atas kehidupanku?"

Lihat selengkapnya