Di balik pintu kamarnya Fatimah yang merasa hatinya sakit. Dia mendengarkan sebuah percakapan antara suaminya dengan wanita itu.
Bibir Fatimah seakan gemetaran.
"Ya Allah, kuatkanlah hatiku.” Fatimah yang berusaha tetap tegar. Meskipun dalam hatinya terasa teriris-iris begitu perih.
*
Pukul 08.00 malam, wanita itu pun akhirnya pulang. Kemudian Yusuf pun mengantar wanita itu ke depan pintu unit apartemennya.
“Mas, aku sudah tidak sabar untuk menikah denganmu,” bisik wanita itu.
“Reina, aku masih belum bisa untuk memutuskannya. Karena...”
“Karena istrimu itu. Apa kamu juga mau durhaka kepada ibumu?”
"Aku akan pikirkan lagi. Karena ini adalah sebuah keputusan besar. Menikah lagi atau memiliki dua istri adalah hal yang begitu sangat sulit untukku. Jadi beri aku waktu.”
“Ok. Jika itu maumu. Tapi aku tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkan kamu ataupun melepaskan kamu lagi seperti dulu.”
"Udah malam. Sebaiknya kamu pulang. Karena tidak baik bertamu terlalu berlama-lama.”
“Ok. Bye.”
Yusuf hanya bisa mengelus dadanya sendiri. Dia merasa begitu sangat bimbang dengan keputusannya. Dia merasa begitu sangat berat, karena tidak ingin menyakiti wanita yang sangat dia cintai selama ini.
Yusuf akan menutup pintu unit apartemennya. Rasa bersalahnya begitu sangat besar sekali terhadap istrinya.
Yusuf menghela nafas begitu berat. Lalu dia mulai berjalan menuju ke kamarnya.
*
Di kamarnya.
Fatimah segera membersihkan wajahnya yang penuh air mata tadinya. Dia tidak ingin sama sekali suaminya khawatir dan cemas mengenai dirinya.
“Mas Yusuf nggak boleh tahu. Karena aku nggak mau melihat dia bersedih melihatku seperti ini.”
Fatimah langsung berdandan menggunakan bedak sebagai penutup wajahnya yang sembab.
“Kamu pasti bisa Fatimah. Kamu bukanlah wanita yang sangat lemah.”