Air Mata Yang Diharamkan

Oleh: Temu Sunyi

Blurb

Namaku Brendi.
Bukan nama dari doa,
tapi dari botol yang menggelinding di malam kelahiranku—
saat ibu berdarah
dan ayah tertawa.

Aku dilahirkan di antara dua pukulan:
satu untuk ibu,
satu untuk dunia yang katanya terlalu bising
bagi orang seperti ayahku.

Sejak kecil aku tahu:
menangis adalah kesalahan.
Bukan karena aku kuat,
tapi karena setiap tangis
dianggap bunyi sumbang
yang bisa mempermalukan nama ayah di telinga tetangga.

"Anak laki-laki gak boleh merengek," katanya.
"Orang pikir aku gagal."
Jadi aku diam.

Aku belajar menelan air mata
seperti menelan duri.
Perihnya masih di tenggorokan,
tapi tak boleh keluar jadi suara.

Dan sejak saat itu,
aku belajar seni yang pahit—
tersenyum, bahkan saat berdarah.
Senyum yang tipis,
tapi penuh retak.

Senyum yang membuat mereka mengira aku baik-baik saja,
padahal di baliknya,
ada amarah yang duduk bersila,
menunggu waktu untuk meledak.

Ayahku bernama Akbar.
Tapi tak ada kebesaran di tangannya,
selain luka yang ia tinggalkan.

Ibuku Novi.
Namanya seperti pagi,
tapi hidupnya adalah senja yang tak pernah selesai.

Kadang aku ingin bertanya pada Tuhan,
kenapa anak-anak tidak bisa memilih
dari rahim siapa mereka keluar,
dan dari tangan siapa mereka belajar tentang cinta.

Tapi itu pertanyaan yang terlalu mewah,
bagi anak sepuluh tahun
yang hanya tahu satu cara:
tersenyum. . . agar tidak dibunuh malam itu juga.

Lihat selengkapnya