Langkahku menuju sekolah selalu kulakukan dengan senyum menggantung, seperti biasa.
Tasku ringan, tak sebanding dengan luka yang berat di dalam dada.
Aku menyapa teman-teman dengan suara ceria, meski seringkali jawabannya adalah tawa yang melukai.
“Brendi… anak Dewa Mabuk!”
“Jangan-jangan kamu bawa alkohol di tas, ya?”
Tawa mereka menyambut pagi seperti cambuk. Lucu, katanya.
Karena ternyata mereka baru tahu arti dari kata “brendi” minggu lalu.
Dan sejak itu, namaku bukan lagi panggilan, melainkan bahan lelucon abadi.
Aku hanya tersenyum. Karena kalau tidak, aku akan menangis.
Dan aku tahu… tangis hanya akan membuat mereka semakin bahagia.
Tertawa Sambil Berdarah
Bahkan guruku ikut tertawa kecil saat namaku disebut di absen.