Bel sekolah berbunyi seperti panggilan pulang— tapi bagiku, itu alarm ketakutan.
Karena di rumah, tidak ada pelukan ibu. Tidak ada tanya hangat,
“Hari ini bagaimana, Nak?”
Yang ada hanyalah suara botol kaca dan makian yang meledak sebelum pintu sempat kubuka.
Ayah duduk di depan TV dengan tubuh separuh sadar, mulutnya bau alkohol, tangannya siap melempar apa saja—termasuk aku.
Aku tak pernah tahu, kesalahanku apa. Kadang karena aku pulang terlalu cepat.
Kadang karena aku terlalu pelan menjawab. Kadang… karena aku ada.
“Brendi! Dasar anak s14lan! Kenapa kau mirip ibumu!”
Ia membentak sambil menatap mataku, dan untuk sesaat aku lupa— bahwa aku anaknya.
Karena sorot matanya seperti musuh yang ingin membunuhku.
Roti Tawar dan Darah Kering