Mobil dinaiki Andin dan staff, terlihat menyusuri jalan berbukit belum di aspal menuju Base Camp. Bukit Seluma. Sejauh tujuh belas kilo meter. Satu jam waktu dibutuhkan, dari tepi jalan propinsi.
Base Camp, berada di puncak Bukit Seluma. Terdiri dari beberapa bangunan kayu, disanggah dengan balok berdinding papan.
Di bagian paling atas perbukitan merupakan bangunan kantor utama, bersebelahan dengan mess, untuk karyawan staff.
Ke bawah lagi, ada tiga bangunan, salah satunya kantin tempat makan, berdampingan dengan mess karyawan. Ada juga bangunan workshop, untuk perbaikan peralatan. Terdapat juga lahan parkir cukup luas untuk semua kendaraan mobil proyek, maupun alat berat digunakan.
Sedikit turun ke bawah, ada sebuah jembatan di atas sungai. Sungai tersebut tidak begitu besar, sedang-sedang saja. Melintang di jalan utama proyek.
Disamping jembatan ada warung milik pak Amat, penduduk setempat. Terdapat juga beberapa rumah kayu sederhana, merupakan penampungan hasil panen biji kopi.
Perkebunan kopi sendiri terletak di atas bukit bangunan base camp. Dikelola oleh masyarakat sendiri, datang dari berbagai pelosok desa sekitar.
Bahkan ada warga datang dari kota, ikut serta berkebun kopi. Tidak heran pada setiap pekannya, puluhan kepala keluarga berbondong-bondong menuju bukit seluma. Untuk berkebun menanam kopi.
Di bawah jembatan sungai inilah, awal kejadian memilukan bakal dialami oleh beberapa anak- anak muda, nantinya.
Aktifitas proyek ini sebenarnya sudah berjalan sejak tiga bulan lalu. Namun dengan berjalannya waktu, ternyata tidak sesuai yang diharapkan. Medan lokasi yang berat menjadi salah satu faktor utamanya.
Alhasil beberapa kali kegiatan proyek sering terhenti.
Adalah, Astrid, Olivia, Maharani, Dewi, beserta Andy, Bambang, Marcel dan Arief. Mereka merupakan sekumpulan anak-anak muda lulusan Teknik Pertambangan, dari Universitas Swasta, Jogjakarta.
Astrid, dari Geologis. Olivia, S-1. Engineer. Maharani bertugas di Laboratorium Quality Control. Dewi, Administrasi kantor, berasal dari kota bengkulu.
Sedang kelompok pria seperti Andy, juga S-1. Engineers. Bambang, dibagian Explorasi bersama Arief. Sedang Marcel, di bagian Geostatistik.
Saat ini mereka sedang berkumpul di kantin untuk makan siang.
"Bete juga, nih, tinggal di mess melulu, mana cuti masih lama lagi." Astrid memulai pembicaraan.
"Iya, nih, boring banget. Bagaimana kalau kita ke kota, minta ijin sama ibu Dian, dan mbak Andinnya."Dewi melontarkan usul kepada teman-temannya.
Disahut oleh Arief. "Apa kalian tidak pernah mendengar, banyak orang membicarakan air terjun viral itu. Bagaimana kalau kita hunting ke sana, saja? Pasti seru banget, dari pada ke kota, habis-habisin duit saja."
Arief ikut nimbrung. " Boleh juga, tuh. Gue, udah lama banget ngimpiin pengen ke sana. Dengar-dengar cerita orang, bagus sekali pemandangannya. Penasaran, seperti apa, sih, wujud air terjun itu."
Maharani dan Olivia, berebut menyahut. "Mau ,donk, kita ikutan ke sana!"
"Memang kamu bisa berenang?" Olivia bertanya kepada Maharani.
"Nggak, ... nggak bisa berenang," jawab Maharani dengan sendu.
"Aduhhh, kachian deh, lo. Bahaya, tahu, kalau nggak bisa berenang." Memperingatkan Maharani berencana mau ikutan.
"Tapi apa diperbolehkan sama ibu Dian juga pak Raymond, jika kita pergi ke sana?" imbuh Marcel.
"Sebaiknya kita ijin dulu, seandainya ada apa-apa kita, kan, tidak disalahin," ujar Arief.
Kebetulan Ibu Dian dan Andin mendengarkan pembicaraan mereka dari kejauhan. Kemudian menghampirinya.
"Ada apa ini, kalian ribut-ribut."
"Asyik nih, ada Ibu Bos, datang. Ini, Bu Dian, Mbak Andin. Anak-anak punya rencana mau hunting ke air terjun, lagi ramai dibicarakan. Sepertinya menantang banget untuk didatangi." Bambang menjelaskan maksud tujuan mereka kepada Ibu Dian dan Andin.
"O, ... itu, Andin juga pernah mendengar. Aku juga mau ikutan dengan kalian dong. Boleh, nggak?" Andin nyeletuk begitu saja, tidak mau kalah dengan mereka.
Serentak mereka bersorak, gaduh. Mendapat respon dari putri pemilik perusahaan ini.
"Horee ...! Mbak Andin mau ikutan kita!
"Tunggu, dulu! Memang tidak berbahaya, ke sana?" Ibu Dian memperingatkan.
"Arief menegaskan. "Kami, kan, anggota pencinta alam di jogja, Bu, Sudah terbiasa menghadapi rintangan seperti itu. Rasanya, sih, tidak terlalu sulit menemukannya."
"Begini juga, Andin pernah juga lho, mendaki gunung waktu kuliah di Inggris, dulu."
"Wah, ... hebat juga nih Mbak Andin, nggak nyangka kita lho, ternyata Mbak Andin pencinta alam juga. Kapan dong, kita di ajak ke sana, Mbak?" Astrid ikut mengomentari.
"Iya, Mbak, ajak kita rame-rame ke sana. Patungan, yuk, keluar negeri sama Mbak Andin." Maharani ikut nimbrung.
Olivia meledek. "Naik getek kali kita ke sana, Emang murah, ticket pesawatnya."
"Ya, sudah, kita jangan menghayal yang jauh-jauh. Bisa menemukan air terjun di sini saja, juga sudah keren banget rasanya. Ibu Dian, mau ikutan juga?" tanya Astrid.
"Nggak, lah, Ibu sudah tidak muda lagi. Kalian itu yang cocok ke sana. Tapi ingat ya, bukan Ibu yang menentukan boleh tidaknya kalian pergi ke sana. Pak Raymond sebagai safety kita, paling berhak menentukannya."
"Wah, cocok kalau begitu, mana ya, pak Raymond?" Bambang menanyakan.
"Pak Raymond sedang di lapangan, nanti kita diskusikan dengannya." Andin memberikan harapan.